interpretasietnografis yang mendasarkan interpretasi menurut pengetahuan lokal dan wawasan teoritis peneliti akan mitigasi bencana dan tata ruang. Keywords: kearifan lokal, mitigasi bencana, tata ruang, interpretasi-etnografis. Abstract: Some successful disaster management especially in East Asia have demonstrated how the local
Hubungan antara kearifan lokal dengan kondisi geografis lingkunganKearifan lokal yang tumbuh dan berkembang disekitar lingkungan masyarakat merupakan hasil cerminan dari kondisi geografis di lingkungan sekitar. Kearifan lokal merupakan suatu produk pada zaman dahulu dan patut untuk dijadikan sebagai pandangan hidup dimasa Sosiologi merupakan suatu ilmu pengetahuan yang memiliki objek kajian berupa masyarakat dan memiliki fokus pembahasan berupa kehidupan sosial dan gejala - gejala sosial yang terdapat disekitar lingkungan masyarakat. Suatu ilmu sosiologi memiliki ciri - ciri diantaranya Kumulatif, teori sosiologi yang kita ketahui kini merupakan hasil pengembangan dari teori sosiologi yang sudah ada sebelumnyaBerisfat non etis, suatu ilmu sosiologi merupakan suatu ilmu yang berusaha untuk mengungkap suatu fakta terhadap fenomena - fenomena sosial yang terdapat disekitar lingkungan masyarakatEmpiris, suatu ilmu sosiologi bermula dari hasil suatu penelitian atau observasiTeoritis, suatu ilmu sosiologi merupakan suatu ilmu yang bersifat abstrak yang disusun berdasarkan hasil pengamatan empirisAdapun sifat dan hakikat suatu ilmu sosiologi antara lain Sosiologi merupakan suatu ilmu pengetahuan Sosiologi merupakan suatu ilmu sosialSosiologi merupakan suatu ilmu yang katagorisSosiologi merupakan suatu ilmu yang bersifat abstrakSosiologi merupakan suatu ilmu yang murniSosiologi merupakan suatu ilmu yang rasionalSosiologi merupakan suatu ilmu yang dapat menghasilkan suatu pengertian - pengertian baruPelajari lebih lanjut 1. Pengertian sosiologi 2. Contoh sosiologi 3. Contoh sosiologi statis Detail jawaban Kelas 10 Mapel Sosiologi Bab Sosiologi dalam kehidupan Kode
Dengankata lain, kearifan lokal kemudian menjadi bagian dari cara hidup mereka yang arif untuk memecahkan segala permasalahan hidup yang mereka hadapi. Verkat kearifan lokal mereka dapat melangsungkan kehidupannya bahkan dapat berkembang secara bekelanjutan (P ermana, 2010:3) Dalam keseharian, terdapat
Rekomendasi jawaban terbaik dari pertanyaan Anda yang diulas oleh di bawah iniJawabanHubungan antara kearifan lokal dengan kondisi geografis lingkungan yaitu kearifan lokal terbentuk karena keunggulan keadaaan geografis suatu wilayah sehingga dapat tercipta kearifan lokal pada daerah Hallo teman- teman BrainlyLovers!!! pada waktu luang kali ini kita bersama- sama akan mencoba menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan pelajaran sekolah menengah atas mata pelajaran sosiologi. Semangat belajar yaa teman- teman semoga sukses!!!kearifan lokal merupakan sebuah produk kebudayaan sejak masa lalu yang pantas secara berkesinambungan dijadikan pegangan hidup. Walaupun bernilai lokal namun nilai yang terdapat pada kearifan lokal sudah dianggap sangan universal. Kearifan lokal ialah perilaku positif masyarakat dalam berhubungan dengan lingkungan dan alam sekitarnya yang dapat bersumber dari adat istiadat, nilai- nilai agama, petuah nenek moyang ataupun budaya setempat yang sudah terbentuk secara alamiah pada suatu komunitas masyarakat untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Hubungan antara kearifan lokal dengan kondisi geografis lingkungan yaitu kearifan lokal terbentuk karena keunggulan keadaaan geografis suatu wilayah sehingga dapat tercipta kearifan lokal pada daerah lebih lanjut Adik-adik semua masih kepingin belajar materi sosiologi kan? Yuk adik-adik cek link di bawah ini yaa!!! Semoga dapat membantu adik-adik dalam belajar dan semoga membantu pengendalian sosial pada saat terdapat demostrasi dengan cara pada link berikut kebudayaan yang berpengaruh terhadap kebudayaan pada link berikut dari koersi, mediasi, kompromi pada link berikut jawaban Kelas 11Mapel sosiologiBab kebudayaan dan multikulturalismeKode kunci kearifan lokal, kondisi geografis, kebudayaanIowaJournalist Indonesia PastiBisa PintarBelajar DuniaBelajar Pendidikan Sekolah AyoBelajar TanyaJawab AyoMembaca AyoPintar KitaBisa DuniaPendidikan IndonesiaMajuSekian informasi yang dapat rangkumkan perihal tanya-jawab yang telah kalian ajukan dan cari. Jika kalian membutuhkan Info lainnya, silahkan pilih kategori rangkuman di atas bisa bermanfaat untuk teman-teman semua dalam mencari jawaban. KaitanAntar Kondisi Geografis Dengan Keadaan Penduduk Apa kenampakan alamiah dan kenampakan buatan itu? gunung, sungai, laut, perbukitan, dan danau [] Recent Posts Zoon Politicon - Pengertian Menurut Para Ahli, Makna Dan Cirinya Lengkap Kualitas lingkungan hidup saat ini sebagian besar mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang tangguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan. Berbagai asas dipergunakan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Salah satu asas tersebut adalah budaya dan kearifan lokal. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan manusia bermasyarakat untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. Geografi manusia human geography menekankan studi pada aspek antroposphere. Studi geografi tidak terlepas dari kenyataan kehidupan manusia di permukaan bumi sebagai hasil interaksi antara manusia dengan gejala-gejala geografi di permukaan bumi. Geografi manusia sangat berperan dalam melestarikan lingkungan hidup melalui aktifitas manusia dalam kebudayaannya. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free e-mail geomedia Geomedia Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian Geomedia Vol. 17 No. 1 Tahun 2019 1 – 9 Kajian kearifan lokal dalam perspektif geografi manusia Rasti Fajar Peni Riantika a, 1*, Hastuti b, 2 a Program Studi Pendidikan Geografi Program Magister, Universitas Negeri Yogyakarta b Jurusan Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta 1 *; 2hastuti *korespondensi penulis SejarahartikelDiterima Revisi Dipublikasikan Kualitas lingkungan hidup saat ini sebagian besar mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang tangguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan. Berbagai asas dipergunakan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Salah satu asas tersebut adalah budaya dan kearifan lokal. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan manusia bermasyarakat untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. Geografi manusia human geography menekankan studi pada aspek antroposphere. Studi geografi tidak terlepas dari kenyataan kehidupan manusia di permukaan bumi sebagai hasil interaksi antara manusia dengan gejala-gejala geografi di permukaan bumi. Geografi manusia sangat berperan dalam melestarikan lingkungan hidup melalui aktifitas manusia dalam kebudayaannya. Kata kunci Lingkungan Budaya Kearifan Lokal Geografi Manusia Keywords Environment Culture Local Wisdom Human Geography Today's environmental quality is largely threatening the survival of humans and other living creatures, so that protection and management of the environment is strong and consistent by all stakeholders. Various principles are used in environmental protection and management. One of these principles is culture and local wisdom. Local wisdom is the noble values that apply in the human life system to protect and manage the environment sustainably. Environmental protection and management activities must pay attention to the noble values that apply in the order of life of the community. Human geography emphasizes the study of aspects of the anthroposphere. Geography studies can not be separated from the reality of human life on the surface of the earth as a result of interaction between humans and the symptoms of geography on the surface of the earth. Human geography plays an important role in preserving the environment through human activities in its culture. © 2019 Rasti Fajar Peni R dan Hastuti. All Right Reserved Pendahuluan Manusia merupakan pelaku utama dalam keterkaitannya dengan lingkungannya. Karenanya, human geography sebagai suatu cabang ilmu yang berfokus pada keberadaan manusia di muka bumi, dianggap perlu menyumbangkan peranannya dalam penyelesaian pelestarian lingkungan. Artikel ini Kajian kearifan lokal dalam perspektif geografi manusia 2 Geomedia Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian akan membahas secara lebih lanjut mengenai keterkaitan manusia dan pelestarian lingkungan, bagaimana kedudukan human geography dalam menyelesaikan permasalan pelestarian lingkungan. Manusia merupakan faktor utama penyebab banyaknya kerusakan lingkungan. Tidak disadari, kegiatan hidup manusia sehari-hari akan merusak lingkungan yang disebabkan oleh tekanan ekonomi dan rendahnya tingkat pendidikan Maridi, 2012. Interaksi antara manusia dan lingkungannya tidak selalu berdampak positif bagi lingkungan. Interaksi tersebut menurut Suparmini, dkk. 2013 dapat menimbulkan dampak negatif yang dapat menimbulkan bencana, malapetaka, dan kerugian-kerugian lainnya. Pada kondisi yang demikian inilah kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat dapat meminimalisir dampak negatif yang ada. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan adalah upaya untuk mewujudkan dan meningkatkan peri kehidupan dan kualitas hidup makhluk hidup secara alami dan berkelanjutan. Pengelolaan lingkungan hidup bagi individu atau sekelompok masyarakat secara nasional berpegang pada peraturan yang telah disepakati bersama. Peraturan tersebut dikemas dengan berbagai cara, melalui undangundang yang harus difahami dan ditaati bersama. Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tentang lingkungan dan pembangunan, diantaranya 1 Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan tahun 1982; 2 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan; serta 3 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pelaksanaan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah di lapangan didukung oleh kebiasaan-kebiasaan positif yang bernuansa melindungi dan melestarikan lingkungan hidup. Kebiasaan-kebiasaan positif itu dapat dilakukan secara individual atau kelompok masyarakat di daerah tertentu yang bersifat lokal. Kebiasaan-kebiasaan tersebut selanjutnya dikenal sebagai kearifan lokal. Kearifan lokal menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2009 bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum dimana seluruh kegiatan yang berhubungan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan beberapa hal diantaranya 1 keragaman karakter dan fungsi ekologis; 2 sebaran penduduk; 3 sebaran potensi sumber daya alam; 4 kearifan lokal; 5 aspirasi masyarakat; dan 6 perubahan iklim. Kearifan lokal merupakan pengalaman, gagasan, perilaku dan kebiasaan yang dilakukan oleh manusia yang mempunyai nilai untuk tujuan tertentu Mukti, 2010. Geografi Manusia Human Geography Geografi manusia adalah cabang geografi yang bidang studinya yaitu aspek keruangan gejala di permukaan bumi, yang mengambil manusia sebagai objek pokok. Gejala manusia sebagai objek studi pokok, termasuk aspek kependudukan, aspek aktivitas yang meliputi aktivitas ekonomi, aktivitas politik, aktivitas sosial, dan aktivitas budayanya. Geografi manusia terbagi lagi ke dalam cabang-cabang Geografi Budaya, Geografi Penduduk, Geografi ekonomi, Geografi Industri, Geografi Medis, Geografi Perkotaan, Geografi Pariwisata, Geografi Sejarah, geografi transportasi, Geografi politik, Geografi permukiman dan Geografi Sosial D’Blij dan Murphy, 1998. Geografi manusia mengkaji mengenai interaksi antara manusia dengan tempat dan interakasi keruangan. Fellmann, Getis, dan Getis 2008, menyebut aspek ini sebagai aspek interaksi keruangan. Sosiologi mengkaji mengenai interaksi sosial, sementara geografi manusia mengkaji mengenai interaksi keruangan. Rasti Fajar Peni Riantika dan Hastuti Geomedia Vol 17 No 1 Tahun 2019 Geomedia Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian 3 Di dalam kajian ini, geografi manusia berusaha unuk mengkaji mengenai interaksi manusia dengan lingkungannya, dan interaksi ruang satu dengan ruang yang lainnya. Merujuk pada pandangan Fouberg, Murphy dan de Blij 20098, geografi manusia berusaha untuk mengkaji mengenai kepekaan dan rasa memiliki manusia terhadap lokasi, region dan dunianya. Aspek ini, biasa disebut dengan sense of place. Keragaman rasa memiliki tempat sense of place, bukan sekedar terhadap rumah, desa, negara, tetapi juga terhadap planet bumi ini. Target pelestarian bumi, dan penyelamatan lingkungan, pada dasarnya bersandar pada besarannya sense of place. Kerusakan lingkungan, adalah contoh nyata rendahnya sense of place dari manusia Kearifan Lokal dan Budaya Istilah kearifan lokal pertama kali dikenalkan oleh HG. Quaritch Wales “the sum of the cultural characteristic which the vast majority of a people have in common as a result of their experiences in early life”. Gagasan pokok dalam definisi di atas adalah 1 karakter budaya, 2 kelompok yang memiliki budaya tersebut, 3 pengalaman hidup yang muncul dari karakter budaya Banda 2014 1. Menurut Budiwiyanto 2005 26 kearifan lokal sebagai “local genius” yang berarti sejumlah ciri kebudayaan yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat sebagai suatu akibat pengalamannya di masa lalu. Setyawati dkk 2015 101 dalam penelitiannya menggunakan istilah kecerdasan tradisional local genius sebagai alternatif istilah dari kearifan lokal local wisdom. Kedua istilah ini memiliki kesetaraan makna dengan istilah pengetahuan lokal local knowledge dan pengetahuan asli daerah indigeneous knowledge. Kearifan lokal terbentuk dari interaksi secara terus menerus antara manusia dengan lingkungannya dalam waktu yang lama. Elsworth huntington dalam bukunya yang berjudul Principle of human geography mengemukakan bahwa respon manusia terhadap lingkungan itu, dapat dikelompokkan pada empat kelompok besar, yaitu terkait dengan kebutuhan material material needs, pekerjaan, efisiensi kehidupan, dan kebutuhan tingkat tingkat tinggi higher needs. Yang pertama, lingkungan memberikan pengaruh terhadap ragam makanan, pakaian, alat dan teknologi, sarana transportasi dan perumahan. Seseorang yang ada di kawasan pantai, memiliki kebutuhan material yang berbeda dengan mereka yang tinggal di daerah gurun atau pegunungan iklim sangat menentukan kebudayaan manusia. Kedua, lingkungan mempengaruhi ragam pekerjaan manusia. Dari aspek ini, muncul keragamaan pekerjaan, seperti berburu, bertani, pertambangan, dan pengolahan barang dan adanya keragaman mengenai kegiatan yang mendukung pada usaha peningkatan kualitas hidup manusia, seperti layanan kesehatan, pemanfaatan energy dan keragaman pola rekreasi. Terakhir, yaitu adanya keragaman kebutuhan tingkat tinggi manusia higher needs. Aspek respon manusia yang dianggap masuk pada kategori ini, yaitu pelayanan pemerintahan, pendidikan, sains, keagamaan dan seni. Menurut Koentjaraningrat 2003 kebudayaan daerah sama dengan konsep suku bangsa. Suatu kebudayaan tidak terlepas dari pola kegiatan masyarakat. Keragaman budaya daerah bergantung pada faktor geografis. Semakin besar wilayahnya, maka makin komplek perbedaan kebudayaan satu dengan yang lain. Kearifan Lokal Secara Geografis Human geografi mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan permasalan pelestarian lingkungan. Upaya menjaga keseimbangan dengan lingkungannya masyarakat memiliki norma-norma, nilai-nilai atau aturan-aturan yang telah berlaku turun temurun yang merupakan kearifan lokal sesuai dengan letak geografis daerah setempat. Beberapa contoh praktek-praktek budaya dan kearifan lokal di Indonesia yang menurut Suhartini 2009 antara lain sebagai berikut a. Pranoto mongso Kajian kearifan lokal dalam perspektif geografi manusia 4 Geomedia Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian Salah satu kearifan lokal yang terdapat di Jawa yaitu Pranoto Mongso. Pranoto Mongso atau aturan waktu musim digunakan oleh para petani pedesaan yang didasarkan pada naluri dari leluhur dan digunakan sebagai patokan untuk mengolah pertanian. Menurut Hariyanto, 2013 Pranoto mongso adalah salah satu cara yang digunakan suku jawa untuk mengetahui hukum atau tanda-tanda dari fenomena geografis dan berguna untuk menentukan masa tanam, masa panen, Pengendalian Hama Terpadu PHT, pencegahan biaya proses pertanian yang tinggi, dan pengurangan resiko gagal panen. Melalui perhitungan pranoto mongso maka alam dapat terjaga keseimbangannya. Pranoto Mongso dipelopori oleh raja Surakarta Pakubuwono VII dan mulai dikembangkan sejak 22 Juni 1856. Indikator tiap mongso pada Pranotomongso menurut Sumintarsih 1993 42-43 terdapat pada Tabel. 1. Tabel 1. Tabel Pananggalan Jawa Pranotomongso Setya murca ing embanan/ udan rasa mulyo Daun-daun gugur. Udara malam hari dingin, dan siang hari panas Bantala rengka / gong pecah sajroning simpenan Udara panas, angin lembut di luar dingin, panas di dalam. Pohon berdaun lagi. 25 Agustus – 17 September Angin berdebu, udara panas, panen palawija, gadung tumbuh, pohon-pohon berbunga. 18 September – 12 Oktober Waspa Kumembeng Jroning Kalbu Kemarau berakhir, pohon randu berbuah, binatang kaki empat kawin, pohon jambu dan jeruk berbunga. Pancuran Emas Sumawur Ing Jagat Hujan pertama turun. Gadung dan kunir berdaun banyak. Pohon nangka, during, dan mangga berbunga. Mengerjakan sawah, rambutan dan jeruk berbunga, alam mulai hujan. Kilat bersambungan, hujan jarang, banyak binatang tonggeret, padi mulai berbuah. 3 Februari – 28/29 Februari Kilat bersambungan, hujan jarang, banyak binatang tonggeret, padi mulai berbuah. Garengpung berbunyi, berbuat alpukat, jeruk. Pepaya berbunga. Burung-burung bertelur, padi tua. Menuai padi, burung mengeram, tanaman berubi berbuah. Mulai kemarau, Jeruk berbuah Sumber Sumintarsih 1993 42-43 Rasti Fajar Peni Riantika dan Hastuti Geomedia Vol 17 No 1 Tahun 2019 Geomedia Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian 5 Pranata Mangsa yang dalam setahun terdiri dari 12 mangsa kemudian dibagi lagi menjadi 4 mangsa utama mangsa terang 82 hari, mangsa semplah 99 hari, mangsa udan 86 hari dan mangsa pengarep-arep 98 hari. Simetris dengan pembagian 4 mangsa ini, ada juga pembagian mangsa utama yang lain, yaitu mangsa Katigo88 hari, mangsa Labuh 95 hari, mangsa rendheng 94 hari dan mangsa mareng 88 hari. Sindhunata, 20113. Tanda-tanda untuk mengetahui awal dan berakhirnya tiap mangsa melalui panjang bayangan manusia di siang hari yang merupakan akibat dari posisi Matahari yang setiap harinya selalu berpindah- pindah. Seperti yang tertera pada Tabel 2 menurut Daldjoeni di bawah ini. Tabel 2. Tabel Pembagian Mangsa dalam Pranata Mangsa dan Panjang Bayangan Tiap Mangsa Panjang Bayangan dalam pecak dan arah Sumber. Daldjoeni 1983 b. Nyabuk Gunung Nyabuk Gunung merupakan cara bercocok tanam dengan membuat teras sawah yang dibentuk menurut garis kontur. Cara ini banyak dilakukan di lereng bukit sumbing dan sindoro. Cara ini merupakan suatu bentuk konservasi lahan dalam bercocok tanam karena menurut garis kontur. Hal ini berbeda dengan yang banyak dilakukan di Dieng yang bercocok tanam dengan membuat teras yang memotong kontur sehingga mempermudah terjadinya longsor. c. Pohon keramat Pada hampir semua daerah di Jawa, dan beberapa wilayah lain di Indonesia, terdapat budaya menganggap suatu tempat dengan pohon besar misal beringin adalah tempat yang keramat. Kearifan lokal ini memberikan dampak positif bagi lingkungan dimana jika suatu tempat dianggap keramat misal terdapat pohon beringin, maka hal ini merupakan salah satu bentuk konservasi karena dengan memelihara pohon tersebut menjaga sumber air, dimana beringin memiliki akar yang sangat banyak dan biasanya di dekat pohon tersebut ada sumber satu contoh nyata kearifan lokal ini nampak pada masyarakat di Desa Beji, Ngawen, Gunungkidul. Hasil penelitian Alanindra 2012 menunjukkan bahwa masyarakat di desa Beji, memiliki hutan adat Wonosadi dimana di dalamnya terdapat mataair Wonosadi. Berbagai potensi baik flora, fauna, maupun sumberdaya air di mata air ini sangat terjaga dengan baik sebagai tempat resapan air hujan. Hal ini menyebabkan di hutan Wonosadi terdapat Kajian kearifan lokal dalam perspektif geografi manusia 6 Geomedia Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian tiga mata air yang mengalir sepanjang tahun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di sekitar desa Beji. Terjanyanya kelestarian hutan adat ini tidak lepas dari kearifan lokal yang sampai saat ini dipertahankan oleh masyarakat yang salah satunya diwujudkan dalam pembentukan kelompok “Jagawana”. Jagawana merupakan kelompok masyarakat yang bertugas untuk menjaga dan memelihara vegetasi di daerah tangkapan air mata air Wonosadi. Masyarakat tidak pernah mengambil kayu dan merusak aneka tumbuhan langka. Pohon-pohon yang mati tersambar petir tidak ditebang melainkan dibiarkan menjadi humus. d. Kearifan lokal komunitas adat Karampuang di Sulawesi Komunitas adat Karampuang memiliki beberapa cara tersendiri yang merupakan bagian dari sistem budaya dalam mengelola hutan dan sumberdaya alam. Hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan alam sehingga untuk menjaga keseimbangan ekosistem di dalamnya terdapat aturan dan norma yang harus dipatuhi oleh semua warga masyarakat. Dewan adat Karampuang sebagai simbol penguasa tradisional, sepakat untuk mengelola hutan adat yang ada dengan menggunakan pengetahuan yang bersumber dari kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Karampuang. Kearifan lokal tersebut diwujudkan dalam bentuk larangan dan sanksi. Salah satu contoh kearifan lokal dalam bentuk larangan yaitu “Aja’ muwababa huna nareko depa na’oto adake, aja’ to muwababa huna nareko matarata’ni manuke” yang artinya “jangan menyadap enau di pagi hari dan jangan menyadap enau di petang hari”. Hal ini berhubungan dengan keseimbangan ekosistem, khususnya hewan dan burung karena menyadap enau pada pagi hari dikhawatirkan akan mengganggu ketenteraman beberapa jenis satwa yang ada pada pohon enau, demikian pula pada sore hari akan mengganggu satwa yang akan kembali ke kandangnya. Beberapa jenis kearifan lokal masyarakat di Indonesia dalam mengelola hutan dan lingkungan dikemukakan oleh Sartini 2004 antara lain a. Papua, terdapat kepercayaan te aro neweak lako alam adalah aku. Gunung Erstberg & Grasberg dipercaya sebagai kepala mama, tanah dianggap sebagai bagian dari hidup manusia. Dengan demikian maka pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara hati-hati. b. Serawai, Bengkulu, terdapat keyakinan celako kamali. Kelestarian lingkungan terwujud dari kuatnya keyakinan ini yaitu tata nilai tabu dalam berladang dan tradisi tanam tanjak. c. Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, terdapat tradisi tana’ ulen. Kawasan hutan dikuasai dan menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur dan dilindungi oleh aturan adat. d. Masyarakat Undau Mau, Kalimantan Barat mengembangkan kearifan lokal dalam pola penataan ruang pemukiman, dengan mengklasifikasi hutan dan memanfaatnya. Perladangan dilakukan dengan rotasi dengan menetapkan masa bera, dan mengenal tabu sehingga penggunaan teknologi dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan ramah lingkungan. e. Masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, Kampung Dukuh Jawa Barat yang mengenal upacara tradisional, mitos, tabu sehingga pemanfaatan hutan dilakukan dengan hati-hati. Tidak diperbolehkan eksploitasi kecuali atas ijin sesepuh adat. f. Bali dan Lombok, masyarakat mempunyai awigawigKearifan lokal yang lain dapat ditemukan pada berbagai ritual adat di Bali yang mayoritas penduduknya menganut agama Hindu. Beberapa Rasti Fajar Peni Riantika dan Hastuti Geomedia Vol 17 No 1 Tahun 2019 Geomedia Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian 7 praktek kearifan lokal di Bali menurut Utama dan Kohdrata 2011 antara lain a. Adanya organisasi adat yang mengelola lanskap alam seperti organisasi subak dalam mengelola sistem irigasi pertanian; b. budaya menandai pohon besar dengan lilitan kain belang hitam-putih yang menandai bahwa pohon tersebut tidak dapat ditebang sembarangan; c. ritual tumpek wariga/tumpek uduh yang digunakan sebagai sarana untuk mewujudkan rasa syukur atas pemanfaatan keanekaragaman hayati yang telah diperoleh; dan lain-lain. Kearifan lokal juga dijumpai dalam upaya mitigasi bencana. Setyawati dkk 2015 103-106 serta Septiana dkk 2019 7-12 mencontohkan kearifan lokal masyarakat di wilayah lereng selatan hingga barat Gunungapi Merapi dalam menghadapi bencana. Masyarakat di wilayah tersebut memiliki kemampuan dalam membaca tanda semiotika yang berupa tanda-tanda dari perilaku hewan semiotika faunal, kondisi vegetasi semiotika vegetal, kondisi alam seperti suara gemuruh dan kilat di atas gunung merapi semiotika fisikal, serta ajaran, nasihat, bahkan mitos semiotika kultural. Kearifan lokal ini diajarkan secara turun temurun, namun demikian pada saat sekarang tidak dipahami seluruh anggota masyarakat terutama generasi muda. Pada masyarakat Jawa pra modern, kearifan lokal telah berkembang dalam pemilihan lokasi permukiman. Berdasarkan kearifan lokal ini, permukiman cenderung dipilih pada lokasi yang dekat dengan sumberdaya air, memiliki kualitas sumberdaya lahan yang baik, serta relief yang baik Ashari, 2014 176, Ashari, 2015 367 Kontribusi geografi manusia terhadap kearifan lokal Geografi merupakan ilmu yang lebih terfokus pada interaksi antara manusia dan lingkungan di mana ia hidup Hobbs, 2009. Dari definisi yang telah dikemukakan, maka dapat diketahui bahwa geografi lebih menekankan pada interaksi antara manusia dan lingkungannya. Manusia hidup di permukaan bumi di mana tiap area atau wilayah yang ada di permukaan bumi ini tentu memiliki karakteristik yang membedakan antara satu tempat dengan tempat yang lainnya. Human Geografi adalah sub ilmu dari Geografi yang Masyarakat berperan dalam melestarikan kondisi lingkungan. Peran manusia secara berkelompok masyarakat sesuai dengan lingkup secara geografisnya merupakan kegiatan yang telah mengakar dan menjadi kebiasaan sehari-hari. Kehidupan masyarakat memiliki keharmonisan antara memenuhi kebutuhan dengan kondisi lingkungan alam. Mematuhi aturan alam dengan sebuah kepercayaan dan tradisi menjadikan hal tersebut sebagai kebijakasanaan/kearifan. Menurut Witt, 2017 Perspektif geografi manusia dapat membantu memperkenalkan kearifan lokal secara geografis karena dapat berkontribusi pada keberlangsungan alam secara canggih dan alamiah. Beberapa ahli geografi berpendapat bahwa kearifan lokal geografis lebih dari sekedar hubungan emosional Wright, 2011. Menurut Suja 2010, kearifan lokal dibedakan menjadi 2 dua yaitu kearifan sosial dan kearifan ekologi. Kearifan sosial menekankan pada pembentukan makhluk sosial menjadi lebih arif dan bijaksana. Kearifan ekologi merupakan pedoman manusia agar arif dalam berinteraksi dengan lingkungan alam. Kearifan lokal ekologi memandang bahwa manusia merupakan bagian dari alam. Kearifan lokal sangat erat kaitannya dengan masyarakat penduduk adat atau masyarakat penduduk asli, alam dan lingkungan setempat Kristiyanto 2017. Kearifan lokal dalam bentuk kepercayaan terhadap sesuatu yang dianggap sebagai hal yang sakral telah menjadikan lingkungan tersebut tetap terjaga keasliannya. Sumber air yang terjaga dengan pemanfaatan secukupnya. Pepohonan yang tetap rindang memiliki peran penting dalam menjaga kelangsungan debit air untuk memenuhi kebutuhan pertanian dan aspek kehidupan. Jika kondisi ini terus berkelanjutan, maka daerah tersebut bisa dimanfaatkan hingga masa mendatang. Kearifan lokal bukan hanya pada kepercayaan terhadap suatu hal, melainkan makna dari kearifan tersebut. Sikap dan perilaku masyarakat layak dicontoh dan diterapkan untuk Kajian kearifan lokal dalam perspektif geografi manusia 8 Geomedia Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian kehidupan sehari-hari oleh masyarakat di tempat lain demi menjaga kelestarian lingkungan untuk masa depan. Kontribusi geografi manusia terhadap kearifan lokal dapat diketahui dalam implementasi kearifan lokal nusantara, seperti Alam Takambang Jadi Guru Minangkabau, Banjar Sari Jakarta, Nyabuk Gunung Sunda, Bersih Desa Jawa, Hamemayu Hayuning Bawono Yogyakarta, Karah Surabaya, Tri Hita Karana Bali, Awig Awig Bali dan NTT, Kassi Kassi Makasar, dan Sasi Maluku, Wijana 2016. Kearifan lokal di atas dapat bertahan sampai masa kini karena eksistensinya peran masyarakat sesuai dengan lokasi masing-masing sehingga mampu untuk menyeimbangkan ekosistem dengan peribahan kondisi alam. Dalam hal tersebut geografi manusia mempunyai peranan yang sangat strategis dalam mempertahankan eksistensi kearifan lokal sesuai dengan perkembangan sosial maupun perubahan alam. Simpulan Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa geografi manusia sebagai suatu subdisiplin besar dalam geografi saat ini mulai mengembangkan analisisnya berkaitan dengan lingkungan, khususnya mengenai kedudukan manusia dalam melestarikan lingkungan. Kajian mengenai pelestarian lingkungan dianggap selalu berkaitan dengan manusia, sebab manusia berkedudukan sebagai faktor penyebab, korban, sekaligus pihak pelaksana dalam upaya pelestarian lingkungan. Secara geografis lokasi mempengaruhi aktifitas dan kebudayaan yang sangat berpengaruh dalam melestarikan lingkungan, hal tersebut yang menyebabkan kearifan lokal disetiap tempat berbeda-beda. Geografi manusia memiliki kontribusi yang cukup berperan dalam eksistensi Kearifan lokal. Hal ini dapat disinergikan dalam rangka mencapai tujuan visioner terhadap manusia dan lingkungan. Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyelesaian artikel ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan Geografi UNY yang telah memberikan masukan dan dukungan. Ucapan terimakasih secara khusus disampaikan kepada Ibu Dr. Hastuti selaku dosen pembimbing yang memberikan arahan dan saran dalam penyusunan artikel ini. Referensi Alanindra, S. 2012. Analisis Vegetasi Pohon di Daerah Tangkapan Air Mata Air Cokro dan Umbul Nila Kabupaten Klaten, Serta Mudal dan Wonosari Kabupaten Gunungkidul.. Yogyakarta Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Ashari, A. 2014. Distribusi Spasial Mataair Kaitannya dengan Keberadaan Situs Arkeologi di Kaki Lereng Timur Gunungapi Sindoro antara parakan dan Ngadirejo Kabupaten Temanggung. Prosiding Mega Seminar Nasional Geografi Untukmu Negeri. Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta. Ashari, A. 2015. Kearifan Masyarakat Jawa Pra Modern di Lembah Progo dalam Pengenalan Bentanglahan untuk Lokasi Permukiman Tinjauan Studi Geoarkeologi. dalam Nasiwan. 2015. Dilema Membangun Manusia Indonesia Memilih Antara Tuntutan Global atau Kearifan Lokal. Yogyakarta FISTrans Institute. Banda, Maria Matildis, 2014. Upaya Kearifan Lokal dalam Menghadapi Tantangan Perubahan Kebudayaan. Bali Universitas 2005. Tinjauan Tentang Perkembangan Pengaruh Local Genius dalam Seni Bangunan Sakral Keagamaan di Indonesia. 25-35 Daldjoeni, N. 1983. Pokok-pokok Klimatologi. Bandung Alumni D’Blij, & Alexander B. Murphy. 1998. Human GeographyCultur, Society, and Space, New York Jhon Wiley & Sons, Inc. Rasti Fajar Peni Riantika dan Hastuti Geomedia Vol 17 No 1 Tahun 2019 Geomedia Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian 9 Fouberg, Murphy, dan de Blij, 2009. Human Geography People, Place and Culture. John Wiley & Sons, Inc. Fellman, Bjelland, Getis, A. & Getis, J., 2008. Human Geography Landscapes of Human Activities. Twelfth Edition, McGraw Hill, New York. Hariyanto, W. 2013. Identifikasi beberapa kearifan lokal dalam menunjang keberhasilan usaha tani padi di Jawa Tengah. Seminar Nasional. Madura. Hobbs, J. J. 2009. World Regional Geography. USA Brooks/ColeKoentjaraningrat. 2003. Pengantar antropologi I. Jakarta PT Rineka Cipta. Kristiyanto, E. N, 2017. Kedudukan kearifan Lokal dan peranan masyarakat dalam penataan ruang daerah. Jurnal RechtsVinding. Vol 6 2 2012. Penanggulangan Sedimentasi Waduk Wonogiri Melalui Konservasi Sub DAS Keduang dengan Pendekatan Vegetatif Berbasis Masyarakat. Tesis. Surakarta Program Pascasarjana Universitas Sebelas 2010. Beberapa Kearifan Lokal Suku Dayak dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam. Disertasi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan lingkungan. Malang Unibraw. Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati. Jurnal Filsafat. 72 111-120. Septiana, Wardoyo, Praptiwi, Ashari, Ashari, A., Susanti, Jainudin., Latifah, F., Nugrahagung, 2019. Disaster Education Through Local Knowledge in Some Area of Merapi Volcano. IOP Conference Series Earth and Environmental Science 271 2019 012011. Setiawati, S., Pramono, H., dan Ashari, A. 2015. Kecerdasan Tradisional dalam Mitigasi Bencana Erupsi pada Masyarakat Lereng Baratdaya Gunungapi Merapi. Socia 12 2 100-110 Suhartini. 2009. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA. Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta. Suja, W. 2010. Kearifan Lokal Sains Asli Bali, Surabaya Paramita. Sumintarsih. 1993. Kearifan Tradisional Masyarakat Pedesaan dalam Hubungannya dengan Pemeliharaan Lingkungan Hidup Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Suparmini. 2013. Pelestarian Lingkungan Masyarakat Baduy Berbasis Kearifan Lokal. Yogyakarta. Jurnal Penelitian Humaniora. Vol. 18. No. 1, April 2013. 2011. Seri Lawasan Pranata Mangsa, Jakarta Kepustakaan Populer Gramedia. Utama, N, Kohdrata. 2011. Modul Pembelajaran Konservasi Keanekaragaman Hayati dengan Kearifan Lokal. Denpasar Tropical Plant Curriculum Project USAID-TEXAS A&M University dengan Universitas Udayana Wijana, N. 2016. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yogyakarta Plantaxia. Witt, shareon. 2017. Fostering geographical wisdom in fieldwork spaces – discovery fieldwork, paying close attention through sensory experience and slow pedagogy. geographical Association in Reflections on Primary Geography. 1-12. Wright, P. 2011. Challenging Assumptions What is a 'human-centred geography'? Stretching the geographical imagination in pursuit of holism. Geography, 96 3, 156-160. Kurangnya kemampuan siswa dalam keterampilan berpikir tingkat tinggi, mengaitkan kearifan lokal dalam pembelajaran serta kurangnya penggunaan media oleh guru berpengrauh terhadap proses dan hasil belajar. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan desain pengembangan, profil dan mengetahui efektivitas video pembelajaran. Jenis penelitian ini adalah penelitian Research and Development R&D dengan model ADDIE. Subjek validasi adalah lima ahli media, lima ahli desain, dan empat ahli materi serta 26 siswa. Subjek uji efektivitas berjumlah 30 siswa dan subjek validasi soal 30 siswa. Data yang diperoleh adalah data kualitatif dan kuantitatif. Data dikumpulkan dengan metode observasi, dokumentasi, angket dan tes. Analisis data menggunakan deskriptif kuantitatif, deskritif kualitatif dan statistik inferensial uji t serta uji effect size. Hasil penelitian adalah 1 deskprisi desain video pembelajaran. 2 profil video pembelajaran 3 evektifitas video pembelajaran melalui uji effect size, hasilnya 2,614 dengan kategori “strong effect”. Dengan demikikan, video pembelajaran geografi SMA berbasis kearfian lokal dapat diterapkan sebagai media pembelajaran untuk meningkatkan High Order Thinking Anang Widhi NirwansyahSutomoDhi BramastaThis study examines the indigenous knowledge and local mitigation of the Banyumas people in Gununglurah village, Central Java, against landslides. Here, the local community practices local mitigation strategies to overcome its impacts based on local beliefs and traditional practical solutions. The method of the study mainly employs field observations and semi-structured interviews with sixteen informants, including twelve villagers, four local leaders at RT/RW level, and two government officers. The research finds how indigenous knowledge is used across core belief systems and fundamental understanding of marking, imitating, and adding. In addition, this study also reveals that farmers have practiced traditional terracing methods nyabuk gunung to plant crops on slope hills. Other than that, Banyumas people are still practicing the usage of the local seasonal calendar for cropping pranata mangsa, as well as community-level vegetative strategies and practices. Finally, the study also addresses the threat of global technology and modernization to local knowledge preservation for the future volcano in Central Java is one of the most active volcanoes in the world. However, the area of Mount Merapi is still occupied by many inhabitants. Population growth in disaster prone areas is also quite high, even after a major eruption disaster in 2010. To reduce disaster risk, disaster education is necessary, including by utilizing local knowledge about disasters. This paper aims to 1 identify disaster education through local knowledge in the western and southern flank of Merapi Volcano, 2 reveals the influence of physical environmental conditions on disaster education that is formed. The research is done by geography approach that is environmental approach and emphasize on the theme of geography especially location, place, and human- environment interaction. The results show 1 There are several forms of disaster education through local knowledge among others in the form of advice, philosophy of life, myths, art, and culture. The educational process is done in various activities of community life, both during pre disaster, disaster, and post disaster. village elders and community leaders are the most influential parties in the disaster education process. However, at present the role of local knowledge in disaster education is relatively poor. 2 There is an influence of the physical environmental conditions on the form of disaster education, especially geomorphological conditions. Geomorphological conditions affect the types of volcanic hazards, thus determining the characteristics of disaster education undertaken. This paper presents alternative methods in disaster education, in an effort to support disaster management that has been done by the SuparminiSriadi Setyawati Dyah RespatiPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji tentang upaya pelestarian lingkungan masyarakat Baduy yang tinggal dan berada di Desa Kanekes, Kecama- tan Leuwidamar, Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Metode deskriptif kualitatif dilakukan sebagai pendekatan penelitian. Kearifan lokal dikaji sebagai basis dalam penelitian ini, khususnya dalam upaya pelestarian lingkungan pada masyarakat Baduy. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, dokumentasi, dan wawancara dengan beberapa narasumber. Analisis data secara kualitatif melalui, reduksi data, penyajian data, dan pengambilan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, Kehidupan suku Baduy masih sangat tergantung pada alam dan senantiasa menjaga keseimbangan alam. Kearifan lokal masyarakat Baduy dalam mengelola sumberdaya alam antara lain terlihat dari aturan pembagian wilayah menjadi tiga zona, yaitu zona reuma permukiman, zona heuma tegalan dan tanah garapan, dan zona leuweung kolot hutan tua. Hubungan antar aspek kehidupan masyarakat Baduy di Kanekes memiliki integrasi yang sinergis dalam menciptakan kehidupan yang berkelanjutan. Pandangan masyarakat Baduy relatif sama terhadap hubungan antara kehidupan sosial budaya, ekonomi, serta pengelolaan lingkungan. Adat istiadat sebagai bagian dari kearifan lokal masih dipegang dengan sangat kukuh oleh masyarakat Baduy, dan adat istiadat tersebut telah menjadi benteng diri bagi masyarakat Baduy dalam menghadapi modernisasi, termasuk dalam hal melestarikan lingkungannya. Bentuk perilaku pelestarian lingkungan dan konservasi yang dilakukan oleh masyarakat Baduy, antara lain meliputi 1 sistem pertanian, 2 sistem pengetahuan, 3 sistem teknologi, dan 4 praktik konservasi. Kesemuanya itu dilakukan dengan mendasar- kan pada ketentuan adat dan pikukuh yang telah tertanam dalam jiwa dan dilakukan dengan penuh kesadaran oleh seluruh anggota masyarakat BaduyEko Noer Kristiyantop>Sebelum pengetahuan modern terkait penataan ruang berkembang pesat, sebenarnya masyarakat asli Indonesia pun telah mengenal konsep penataan ruang yang dalam berbagai diskusi dan penelitian ternyata terbukti efektif dan selaras dengan ilmu pengetahuan modern. Cara pandang serta konsep itulah yang dapat kita artikan sebagai bagian dari kearifan lokal. Tulisan yang disusun dengan tinjauan normatif ini mencoba menjelaskan bagaimana kearifan lokal dapat berperan dalam proses penataan ruang di Indonesia, dan hasil penelitian menunjukkan bahwa di beberapa daerah kearifan lokal sudah diakomodir melalui regulasi daerah, di mana partisipasi masyarakat menjadi sangat penting dalam proses ini, mengakomodir kearifan lokal berarti mengakui juga eksistensi masyarakat hukum adat seperti apa yang dikehendaki oleh konstitusi. Selainitu, kondisi geografis Indonesia juga membentuk Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau-pulau. Jika mengikuti pembagian iklim berdasarkan lintang, maka Indonesia terletak di iklim tropis. Konsep kearifan budaya lokal, dalam konteks kehidupan dan relasi sosial di tengah komunitas yang majemuk memiliki kekuatan (power) dalam Skip to contentJakartaTangerangBekasiPendaftaranBeasiswaAkses CepatSistem Informasi AkademikBlog DosenBlog MahasiswaDigital LibraryE-JurnalGreen CampusLowongan Universitas Esa UnggulMBKMNewsletterOnline LearningOrang TuaRepositorySeminar WebTalkshow RadioKearifan Lokal, Pengetahuan Lokal dan Degradasi LingkunganKearifan Lokal, Pengetahuan Lokal dan Degradasi LingkunganKearifan Lokal, Pengetahuan Lokal dan Degradasi LingkunganKEARIFAN LOKAL, PENGETAHUAN LOKAL DAN DEGRADASI LINGKUNGANErwan Baharudin Fakultas Ilmu Komunikasi – Universitas Esa Unggul, Jakarta Mahasiswa Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia, Jakarta Jln. Arjuna Utara Tol Tomang Kebun Jeruk, Jakarta 11510 Terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, amanat konstitusi tertinggi dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”, ternyata menjadi ambivalensi dan tumpang tindih antara kebijakan satu dengan yang lainnya. Arah pembangunan yang ditujukan pada peningkatan ekonomi perkapita, menyebabkan pemihakan oleh pihak investor melalui Negara cq pemerintah yang menghalalkan pengeksploitasian lingkungan dan memarjinalisasikan masyarakat lokal. Sementara masyarakat lokal sendiri mempunyai kepentingan masalah ekonomi, mereka banyak yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam tersebut. Dengan demikian terjadilah kontestasi antara pihak-pihak yang terkait dengan kepentingannya dalam mengeksploitasi sumberdaya alam. Dengan kemajuan teknologi, eksploitasi tersebut semakin meluas dari sabang sampai merauke baik oleh Negara, perusahaan dan masyarakat sendiri. Hal itu dengan sendirinya akan menyebabkan kerusakan lingkungan dan terjadilah bencana alam yang memakan korban. Bencana alam tersebut ada dua penyebab, yang pertama karena ulah manusia dan yang kedua merupakan fenomena alam. Dengan adanya kearifan dan pengetahuan lokal, maka bencana alam yang terjadi bisa diminimalisir baik materi maupun immateri. Meskipun pengetahuan local tersebut banyak diperdebatkan dalam dunia keilmiahan reason, tetapi dari beberapa kejadian, pengetahuan local unreason tersebut tidak dapat diabaikan keberadaannya. Kata Kunci Eksploitasi, Degradasi Lingkungan, Kearifan dan Pengetahuan Lokal PendahuluanSumberdaya alam darat dan laut merupakan aset yang memegang peranan penting dalam kelangsungan hidup suatu masyarakat baik dari aspek ekonomi, so-sial, hukum dan politik. Sumberdaya alam terdiri dari sumber alam yang bisa diper-barui seperti hutan, perikanan, dan lain-lain, dan sumber alam yang tidak bisa di-perbarui seperti minyak, batu bara, gas alam, dan lain-lain. Dari sudut pemakaian sumberdaya alam yang tidak bisa diperba-rui harus dikelola dan dipakai secara bijak-sana. Oleh sebab itu dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Dalam pengelolaannya, antara negara dengan ma­syarakat lokal banyak sekali terjadi kon-flik-konflik, yang biasanya berawal dari aktivitas eksploitasi dan terjadinya degra­dasi lingkungan, seperti semakin menipis-nya hutan, rusaknya komoditas laut akibat pengeboman oleh nelayan, dan lain-lain. Hubungan timbal-balik antara manusia dan lingkungannya berkaitan erat dengan proses perkembangan suatu wilayah dimana segala sesuatu yang dilakukan kepada ling-kungannya akan berpengaruh balik ter-hadap ekologi yang ada di sekitarnya yang bisa berarti positif dan negatif tergantung dari bagaimana pengelolaan yang dilaku­kan untuk menjaga keseimbangan ekologi. Manusia mempunyai tanggung jawab dan pengaruh yang besar terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya. Sejalan dengan pengelolaan sum-berdaya alam secara lestari adalah penting untuk bisa mengembangkan gaya dan pola hidup yang serasi dengan kemampuan daya dukung alam. Dalam hubungan ini maka pengembangan teknologi yang serasi de­ngan keperluan menyerap tenaga dan pe-ningkatan daya dukung alam menjadi penting. Persoalaannya adalah bahwa dunia internasional mengembangkan teknologi yang padat modal dan hemat tenaga kerja sesuai dengan kondisi Negara maju yang banyak melahirkan inovasi dan teknologi baru. Sebaliknya Negara Negara dunia ke-tiga kurang memiliki modal dan kesem-patan menyebarluaskan teknologi yang lebih serasi dengan lingkungan tanah air-nya. Disamping itu keadaan persaingan dunia dan desakan waktu mendorong ma­nusia untuk memperhatikan dan kemajuan tek­nologi dari waktu ke waktu sangat mem-pengaruhi perubahan-perubahan dan per-tumbuhan masyarakat, urbanisasi, per-tanian, ekonomi, sosial budaya, dan lain-lain tidak terlepas dari pertumbuhan ruang lingkup kebudayaan dalam suatu dalam lingkunganSecara ekologis, lingkungan hidup dipandang sebagai satu sistem yang terdiri dari subsistem-sistem. Dalam ekologi juga manusia merupakan salah satu subsistem dalam ekosistem lingkungan. Dengan de-mikian manusia adalah satu kesatuanterpadu dengan lingkungannya dan dianta-ranya terjalin suatu hubungan fungsional sedemikian rupa. Dalam hubungan fung­sional tersebut manusia dan lingku­ngan terdapat saling ketergantungan dan saling pengaruh yang pada akhirnya akan berpengaruh pada ekosistem secara kese-luruhan. Untuk mencapai keselarasan, ke-serasian, dan keseimbangan antar subsis­tem dalam ekosistem diperlukan sistem pe­ngelolaan secara terpadu. Sebagai suatu ekosistem, lingkungan hidup mempunyai aspek sosial, budaya, ekonomi dan geografi dengan corak ragam dan daya dukung yang berbeda Politik pembangunan – terutama-di negara-negara berkembang yang lebih menitikberatkan pada pertumbuhan ekono­mi untuk mengejar kesejahteran rakyat sering mendatangkan permasalahan di bi-dang lingkungan. Permasalahan lingkungan ini biasanya bersumber pada dorongan untuk memanfaatan secara terus menerus dan belebihan sumber daya alam tanpa memperhatikan daya dukung sumber daya alam tersebut. Untuk mengejar kemakmu-ran, sumber daya alam dipandang sebagai faktor produksi untuk mewujudkan tujuan pembangunan ekonomi, tanpa memperhati­kan ini alam di Indonesia banyak mengalami perubahan lingkungan, banyak musibah seperti banjir besar, tanah longsor, satwa yang menyerang manusia. Jika lingkungan yang sekarang ini diban-dingkan dengan 20 tahun yang lalu, terjadi perbedaan yang sangat timpang, dimana terasa sekali terjadinya perubahan peruba­han lingkungan seperti kota maupun desa semakin padat dan kotor, kendaraan ber-motor semakin banyak dan menyebabkan polusi, hutan semakin sempit dan gundul, bukit bukit juga semakin berkurang kerin-dangannya, musim kemarau lebih panas, dan pada musim hujan terjadi banjir orang menyatakan bahwa biang kerusakan lingkungan alam sejauh berhubungandengan manusia adalah akti-vitas-aktivitas industri kapitalis modern. Desakan persaingan di bidang industri yang merupakan prinsip kapitalisme melahirkan berbagai tindakan yang lepas kontrol dalam pendayagunaan atau pengolahan sumber daya alam untuk kebutuhan industri dan dalam penerapan teknologi industri yang tidak mempertimbangkan kondisi alam. Pe­nerapan teknologi canggih dalam industri memungkinkan pengolahan sumber daya alam secara cepat dan ekstensif. Dengan demikian terjadi percepatan dalam proses mengakumulasi modal dan konsumsi. Inilah logika kapitalisme. Tetapi logika itu bermuara secara tragis pada percepatan tempo kehidupan secara total. Kapitalisme memang menciptakan kelimpahruahan materi, tetapi di balik kelimpahruahan ter-sebut ada beban berat yang dipikul oleh bu-mi, yaitu kerusakan ekologis, yang dalam jangka panjang menggiring kepada kehan-curan ekologis, dan akhirnya kehancuran manusia itu dua faktor penyebab terja-dinya degradasi lingkungan hidup, pertama penyebab yang bersifat tidak langsung dan kedua penyebab yang bersifat langsung. Faktor penyebab tidak langsung merupakan penyebab yang sangat dominan terhadap kerusakan lingkungan, sedangkan yang bersifat langsung, terbatas pada ulah pemerintah, perusahaan dan penduduk se­tempat yang mengeksploitasi hutan/ ling­kungan secara berlebihan karena desakan kebutuhan. Faktor penyebab tersebut be-rikut ini bersifat tidak Penduduk. Penduduk yang bertambah terus setiap tahun menghendaki penyediaan sejumlah kebutuhan atas “pangan, sandang dan papan rumah”. Sementara itu ruang muka bumi tempat manusia mencari nafkah tidak bertambah luas. Perluasan lapangan usaha itulah yangpada gilirannya menyebabkan eksploitasi lingkungan secara berlebihan dan atau secara liarKebijakan Pemerintah. Bebe-rapa kebijakan pemerintah yang berdampak negatif terhadap LH. Sejak tahun 1970, pembangunan Indonesia dititikberatkan pada pembangunan industri yang berbasis pada pembangunan pertanian yang menyo-kong industri. Keinginan pemerintah Orde Baru saat itu yang segera ingin mewujud-kan Indonesia sebagai negara industri, telah menyebabkan rakyat miskin mayoritas penduduk terutama yang tidak memiliki lahan yang cukup hanya menjadi “penon-ton” pembangunan. Bahkan sebagian dari mereka kehilangan mata pencarian sebagai buruh tani dan nelayan karena masuknya teknologi di bidang pertanian dan peri-kanan. Mereka ini karena terpaksa mengga-rap tanah negara secara liar di daerah pesisir hingga pegununganDampak In-dustrialisasi. Dalam proses industrialisasi ini antara lain termasuk industri perkayuan, perumahan/real estate dan industri kertas. Ketiga industri tersebut di atas memerlukan kayu dalam jumlah yang besar sebagai bahan bakunya. Inilah awal mula eksploi­tasi kayu di hutan-hutan, yang melibatkan banyak kalangan terlibat di dalamnya. Ke-untungan yang demikian besar dalam bisnis perkayuan telah mengundang banyak pe-ngusaha besar terjun di bidang ini. Namun, sangat disayangkan karena sulitnya pe-ngawasan, banyak aturan di bidang pe-ngusahaan hutan ini yang dilanggar yang pada gilirannya berkembang menjadi se-macam “mafia” perkayuan. Semua ini ter­jadi karena ada jaringan kolusi yang rapi antara pengusaha, oknum birokrasi dan ok-num keamanan. Sementara itu penduduk setempat yang perduli hutan tidak berdaya menghadapinnya. Akibat lebih lanjut pen­duduk setempat yang semula peduli dan mencintai hutan serta memiliki sikap moral yang tinggi terhadap lingkungan menjadi frustasi, bahkan kemudian sebagian darimereka turut terlibat dalam proses “illegal logging” tersebut. Masalah tersebut di atas di era pemerintahan Orde Reformasi seka-rang ini masih terus berlanjut, bahkan semakin marak dan melibatkan sejumlah pihak yang lebih banyak dibandingkan dengan era Orde Baru. Uang yang berlim-pah dari keuntungan illegal logging ini telah membutakan mata hati/dan moral ok-num-oknum birokrat dan penegak hukum yang terlibat atas betapa pentingnya man-faat hutan dan lingkungan hidup yang les-tari, untuk kehidupan semua makhluk, khu-susnya manusia generasi sekarang dan yang akan dan Rekla­masi yang Gagal. Upaya reboisasi hutan yang telah ditebang dan reklamasi lubang/ tanah terbuka bekas galian tambang sangat minim hasilnya karena prosesnya memer-lukan waktu puluhan tahun dan dananya tidak mencukupi karena banyak disalahgu-nakan. Hal ini membuktikan bahwa penge-tahuan dan kesadaran atas pentingnya pelestarian lingkungan hidup, baik di kala-ngan pejabat maupun warga masyarakat sangat rendah. Kebakaran hutan reboisasi diduga ada unsur kesengajaan untuk me-ngelabui reboisasi yang tidak sesuai ketentuan manipulasi reboisasi.Me-ningkatnya Penduduk Miskin dan Pengang-guran. Bertambah banyaknya penduduk miskin dan pengangguran sebagai akibat dari pemulihan krisis ekonomi yang hingga kini belum berhasil serta adanya kebijakan ekonomi pemerintah yang tidak populis seperti penghilangan subsidi untuk sebagian kebutuhan pokok rakyat, pening-katan tarif BMM, listrik, telepon dan lain-lain, merupakan faktor pemicu sekaligus pemacu perusakan lingkungan oleh pen­duduk miskin di pedesaan. Gejala ini juga dimanfaatkan oleh para spekulan penduduk kota untuk bekerja sama dengan penduduk miskin pedesaan. Sebagai contoh menga-lirnya kayu jati hasil penebangan liar dari hutan negara/perhutani ke industri meubeldi kota-kota besar di Pulau Jawa, sebagai satu bukti dalam hal ini. Peningkatan jum-lah penduduk miskin dan pengangguran diperkirakan akan memperbesar dan mem-percepat kerusakan hutan/lingkungan yang makin parah. Hal ini merupakan lampu merah bagi masa depan generasi kitaLemahnya Penegakan Hukum. Sudah banyak peraturan perundangan yang telah dibuat berkenaan dengan pengelolaan ling­kungan dan khususnya hutan, namun im-plementasinya di lapangan seakan-akan ti­dak tampak, karena memang faktanya apa yang dilakukan tidak sesuai dengan pera­turan yang telah dibuat. Lemah dan tidak jalannya sangsi atas pelanggaran dalam setiap peraturan yang ada memberikan peluang untuk terjadinya pelanggaran. Di pihak lain disinyalir adanya aparat penegak hukum yang terlibat dalam sindikat/mafia perkayuan dan pertambangan telah mele-mahkan proses peradilan atas para penjahat lingkungan, sehingga mengesankan pera­dilan masalah lingkungan seperti sandiwara belaka. Namun di atas itu semua lemahnya penegakan hukum sebagai akibat rendah-nya komitmen dan kredibilitas moral aparat penegak hukum merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap semakin ma-raknya perusakan hutan/ Masyarakat yang Rendah. Kesa­daran sebagian besar warga masyarakat yang rendah terhadap pentingnya peles­tarian lingkungan/hutan merupakan satu hal yang menyebabkan ketidakpedulian masyarakat atas degradasi lingkungan yang semakin intensif. Rendahnya kesadaran masyarakat ini disebabkan mereka tidak memiliki pengetahuan tentang lingkungan hidup yang memadai. Oleh karena itu, kini sudah saatnya pengetahuan tentang ling­kungan hidup dikembangkan sedemikian rupa dan menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah umum mulai dari tingkat SD. Hal ini dipandang penting, karena ku-rangnya pengetahuan masyarakat atasfungsi dan manfaat lingkungan hidup telah menyebabkan pula rendahnya disiplin ma-syarakat dalam memperlakukan lingkungan sesuai peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah iptek lingkungan Lingkungan. Pencemaran ling­kungan baik pencemaran air, tanah maupun udara justru di era reformasi ini terutama di Pulau Jawa semakin memprihatinkan. Disi­plin masyarakat kota dalam mengelola sampah secara benar semakin menurun. Banyak onggokan sampah bukan pada tem-patnya. Para pelaku industri berdasarkan hasil penelitian tidak ada yang mengelola sampah industri dengan baik. Sebanyak 50% dari 85 perusahaan hanya mengelola sampah berdasarkan ketentuan minimum. Sebanyak 22 perusahaan 25% mengelola sampah tidak sesuai ketentuan bahkan ada 4 perusahaan belum mengendalikan pen­cemaran dari pabriknya sama sekali. Pencemaran udara semakin meningkat ta-jam di kota-kota besar, metropolitan dan kawasan industri. Gas buangan CO2 dari kendaraan yang lalu lalang semakin me­ningkat sejalan dengan pertambahan jum-lah kendaraan itu sendiri. Dengan dipro-duksinya kendaraan murah yang dijual secara kredit, akan menambah lonjakan jumlah kendaraan, hal ini akan menambah kemacetan lalu lintas di kota besar. Dam-paknya akan terjadi lonjakan tingkat pen­cemaran udara yang luar sebagai lembaga ter-tinggi dalam suatu Negara berwenang un-tuk mengatur ataupun mengendalikan apa saja yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, dan dalam Undang-undang Dasar 1945 Amandemen I-IV dalam pasal 33 yang mengatur tentang sumber-sumber Negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Untuk meng-implementasikan hal tersebut maka peme­rintah melakukan hal-hal sebagai berikutmengatur dan mengembangkan kebijak-sanaan dalam rangka pengelolaan ling­kungan hidupmengatur penyediaan,peruntukan,penggunaan,pengelolaan lingkungan hidup dan pememfaatan kembali sum-ber daya alam, termasuk sumber perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang lain atau subyek hukum lainya serta pembuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetikamengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosialmengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang berlakuTetapi, akibat derasnya arus kapi-talisme global telah mendorong intervensi dari negara untuk melakukan proses regu-lasi. efek yang ditimbulkan adalah terja-dinya konspirasi antara penguasa modal dengan birokrasi untuk memuluskan proses eksploitasi sumber daya alam dengan dalih investasi untuk kesejahteraan masyarakat. Sementara itu masyarakat lokal, mem-punyai cara yang berbeda dalam meng-eksploitasi lingkungan, sehingga menim-bulkan konflik lingkungan ini yaitu adanya kebijakan pemerintah yang dilak-sanakan oleh pengusaha seringkali tidak memihak kepada masyarakat. Selain itu da­lam proses pengambilan keputusan oleh pemerintah, seringkali masyarakat tidak dilibatkan, padahal dalam kebanyakan ka-sus-kasus lingkungan korbannya adalah masyarakat baik sebagai individu maupun ini menunjukkan bahwa posisi antara negara dengan masyarakattidak berimbang dan masing masing terlihat mempunyai kepentingan yang ber-beda-beda, baik di daerah rural maupun ur­ban. Degradasi lingkungan tersebut harus disadari akan merusak infrastruktur pere-konomian dan mengganggu kehidupan so-sial. Di wilayah perkotaan ditandai oleh semakin tingginya pencemaran udara serta semakin meluasnya wilayah perkotaan yang tercemari dengan pencemaran udara tersebut. Kondisi tersebut tidak terlepas dari meningkatnya kerusakan sumberdaya alam maupun banyaknya industri pen-cemar, sejalan dengan pertumbuhan eko-nomi maupun perkembangan penduduk. Di daerah rural degradasi lingkungan bisa terlihat salah satunya dengan makin me-nipisnya kawasan perhutanan yang diaki-batkan oleh kebakaran maupun pemba-lakan liar oleh toke toke dan juga masya-rakat sekitar. Adanya degradasi lingkungan yang menyebabkan bencana tersebut, akan bisa diminimalisir apabila ada kerjasama penge-lolaan sumberdaya alam antara Pemerintah Negara dengan perangkatnya, dan masya-rakat lokal dengan kearifan dan penge-tahuan local yang Kearifan dan Pengetahuan Lokal dalam MasyarakatNygren 1999 mengemukakan Pe­ngetahuan lokal merupakan istilah yang problematik. Pengetahuan local dianggap tidak ilmiah, sehingga pengetahuan local tersebut dibedakan dengan pengetahuan ilmiah yang dikenalkan oleh dunia barat. Titik temu antara pengetahuan local yang tidak ilmiah dan yang ilmiah tersebut keduanya berada pada bagaimana cara memahami dunia mereka sendiri. Penge­tahuan local dapat ditelusuri dalam bentuk pragmatis maupun supranatural. Penge­tahuan dalam bentuk pragmatis menyang-kut pengetahuan tentang kaitan pemanfaatan sumberdaya alam, dan dalam ben­tuk supranatural, ketika pengetahuan itu menjadi seolah-olah tidak ilmiah un­reason. Untuk yang pragmatis ini, pe-ngetahuannya berubah, karena berhu-bungan dengan pihak lain dari wilayah-nya. Pengetahuan lokal selalu dianggap sebagai lawan dari pengetahuan barat yang bersifat ilmiah, universal, memiliki meto-dologi dan dapat diverifikasi. Pengetahuan lokal dianggap bersifat lokal, terbatas dan tidak memiliki metodologi dan sebagainya. Pembedaan ini secara tidak sadar meme-lihara perbedaan antara pengetahuan ilmiah negara barat dan pengetahuan lokal negara timur, yang pada akhirnya memelihara pandangan kolonialisme antara barat dan dengan pengetahuan dan kearifan lokal telah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman pra-sejarah sam-pai sekarang ini, kearifan tersebut merupa­kan perilaku positif manusia dalam berhu-bungan dengan alam dan lingkungan seki-tarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat Wietoler, 2007, yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun, secara umum, bu­daya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah bu­daya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah kearifan local adalah yang dilakukan di kawasan kars gunung sewu. Masyarakat di Kawasan Kars Gunung Kidul sebagian besar memiliki mata penca-harian sebagai petani yang memanfaatkan lahan-lahan di sekitar cekungan-cekungan kars doline sebagai lahan pertanian yang dikelola oleh masyarakat. Lahan pertanian dikelola secara swadaya oleh masyarakat dengan teknologi-teknologi konvensional yang telah mereka pelajari dari zaman nenek moyangnya secara turun-temurun dan dikembangkan secara tradisional untuk mencapai hasil yang lebih baik sesuai de­ngan perkembangan dan perubahan lahan. Kebutuhan akan air sebagai penyubur lahan pertanian di kawasan ini menjadi permasa-lahan yang dialami oleh para petani dalam mengelola lahannya, ketersediaan sumber-daya alam yang ada memberikan pilihan kepada masyarakat untuk dapat mengelola-nya secara manual, kondisi ini mengakibat-kan adanya usaha-usaha masyarakat dalam mengelola sumber daya air yang ada di permukaan dan bawah permukaan secara tradisional dengan memanfaatkan kearifan-kearifan lokal baik yang mengandung unsur mitos atau kepercayaan dan kebuda-yaan-kebudayaan sebagai tatanan kehidu-pan masyarakat yang berlaku di sekitar kawasan Gunung harus memperlakukan lingkungan di sekitarnya sebagai tempat tinggal yang telah memberikan segalanya untuk kita, sehingga ada tanggung jawab yang besar untuk menjaga dan menge-lolanya, pengembangan teknologi seder-hana di dalam mengelola sumberdayanya akan selalu dipertahankan untuk menjaga tradisi, memberi motivasi dan menjaga kepercayaan masyarakat dalam mengelola wilayahnya sehingga peran masyarakat sebagai kunci utama dalam menjaga ke-seimbangan sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Kearifan lokal harus menjadi yang terdepan dalam menjalankan pro­gram-program pengembangan wilayah di kawasan kars untuk mendorong masyarakat sebagai pelaku utama dalam usaha me-ngembangkan sumberdaya alamnya. Di Gunung Kidul masyarakat sudah hidup selama bertahun-tahun dengan kondisi wilayah yang kekeringan dan kekuranganair walaupun memiliki cadangan air bawah permukaan yang sangat besar jumlahnya, faktor geologis pada wilayah ini sebagai kawasan batugamping yang mengalami proses pelarutan, mengakibatkan pada ba-gian permukaan kawasan ini merupakan daerah yang kering, masyarakat meman­faatkan sumber-sumber air dari telaga-te-laga kars dan gua-gua yang memiliki sum­ber-sumber air. Kearifan lingkungan ma­syarakat Gunung Kidul dalam mengelola lingkungannya dilakukan secara bergotong royong untuk menjaga sumber-sumber air yang ada dengan melakukan perlindungan dan membuat aturan-aturan adat yang memberikan larangan-larangan kepada masyarakat ayang memberikan penilaian negatif dari dampak yang akan ditimbulkan bila tidak dilakukan, untuk dapat menjaga dan mengelola sumber-sumber air yang ada. Kebudayaan lokal pada suatu daerah harus tetap dijaga kelestariannya agar kondisi alamiah dari lingkungannya tetap terjaga, banyak program-program peme-rintah yang dilakukan di wilayah Gunung Kidul dalam usaha pemanfaatan dan penge-lolaan sumberdaya air bawah permukaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di seluruh wilayah Gunung Kidul, tapi pro­gram-program yang telah dijalankan oleh pemerintah tidak menjadikan budaya lokal masyarakat sebagai referensi dalam men­jalankan program pembangunan di wilayah ini, kawasan kars memiliki karateristik yang berbeda dari kondisi wilayah lainnya, proses pelarutan yang terjadi menga­kibatkan adanya perubahan karakteristik dari batugamping, banyak pembangunan infrastruktur sistem perpipaan yang seha-rusnya dapat menyuplai kebutuhan air untuk masyarakat menjadi tidak berfungsi pada waktu tertentu akibat dari pe-nyumbatan-penyumbatan aliran pipa yang di sebabkan oleh adanya proses pelarutan, pada batuan yang di lewati sumber airnya. Banyak danau-danau kars yang tidak dapatberfungsi lagi akibat adanya pembangunan waduk di sekitar danau dan dilakukan pengerukan untuk memperdalam tampu-ngan air dengan asumsi akan dapat me-nambah jumlah persediaan air, tapi justru hal ini harus di bayar mahal dengan hilang-nya atau tidak berfungsinya danau akibat dari hilangnya sumber air yang ada masuk ke bawah permukaan melalui rekahan-re-kahan batuan hal ini disebabkan oleh hi­langnya lapisan lumpur terarosa yang ber­fungsi sebagai penahan air. Sehingga ba-nyak sistem perpipaan dan penampung air yang dibangun hanya menjadi sebuah mo-numen yang tidak dapat berfungsi. Sejak zaman dahulu masyarakat di wilayah Gu­nung Kidul telah hidup dalam kondisi ke-keringan, namun mereka punya cara ter-sendiri untuk beradaptasi dengan alam di sekitarnya dalam memenuhi kebutuhan hi-dupnya untuk kebutuhan sehari-hari dan lahan pertanian, ini terus berlangsung hing-ga sampai saat ini walaupun banyak orang yang sudah mulai meninggalkannya untuk mencari penghidupan di tempat lain yang biasanya di kota-kota besar, tetapi masya­rakat di Kawasan Kars Gunung Kidul tetap melakukan kearifan lingkungan yang sudah menjadi budaya lokal yang masih tetap dikembangkan oleh masyarakat setempat. Banyak kearifan lingkungan di wilayah ini yang menjadi program bagi masyarakat untuk mengelola lingkungan dan sumber-daya air serta untuk mengembangkan pari-wisata di kawasan kars baik wisata alam maupun wisata minat khusus gua. Petrasa Wacana, 2008.Masyarakat lokal yang bermukim di lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah, misalnya, telah mempunyai kemampuan untuk memprediksi kemungkinan terja-dinya letusan. Hal tersebut antara lain menggunakan indikator berbagai jenis hewan liar yang turun lereng di luar kebia-saan dalam kondisi lingkungan normal. Secara etik, penggunaan indikator alam tersebut cukup rasional mengingat berbagai jenis binatang dengan instingnya memiliki kepekaan tinggi dalam merasakan kian meningkatnya suhu tanah akibat me-ningkatnya tingkat aktivitas Gunung Me­rapi sehingga mereka pindah itu, dalam menghindari ri-siko bencana Gunung Merapi meletus, warga lokal di lereng Gunung Merapi juga mempunyai kearifan lokal dalam mem-bangun permukiman di lingkungan yang penuh risiko bencana alam letusan gunung api. Permukiman tersebut bisanya berke-lompok di lahan datar dengan dikelilingi tegalan. Rumah-rumah senantiasa didirikan menghadap ke arah yang berlawanan de­ngan Gunung Merapi. Maksudnya, berda-sarkan pandangan mereka, agar rumah-rumah tersebut tidak dimasuki makhluk ha-lus pengganggu yang menghuni Gunung Merapi. Namun, secara etik dapat ditaf-sirkan bahwa rumah-rumah tempat tinggal tersebut dibangun menghadap ke arah jalan utama desa yang membujur ke arah utara-selatan atau selatan-utara agar sekiranya terjadi letusan, mereka dapat dengan segera melarikan diri menuju jalan utama contoh kearifan ekologi masyarakat lokal dapat pula ditemukan di berbagai kelompok masyarakat lokal di Tatar Sunda. Di masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya dan Kampung Dukuh di Garut selatan, misalnya, pembangunan permukiman dan pemanfaatan lahan lain-nya senantiasa diatur secara tradisional de­ngan sistem zonasi. Dengan demikian, sis­tem pengetahuan lokal masyarakat tersebut dapat diintegrasikan dalam analisis risiko lingkungan dan mitigasi bencana alam berlandaskan kajian ilmu pengetahuan atau pandangan etik. Johan, 2009Kalau kita menengok ke belakang saat kita belum punya teknolo-gi, bagaimana cara bertahan hidup bangsa Indonesia pada zaman dahulu dalam menghadapi bencana? ada berapa contoh kea-rifan lokal yang telah menyelamatkan ba-nyak orang akan tetapi jarang diketahui orang. Sebagai contoh kearifan lokal yang menyelamatkan yang dikembangkan ma-syarakat pulau Simelue yang selamat dari tsunami tanggal 26 Desember 2004 telah menyelamatkan ribuan manusia. Ma-syarakat Pulau Simelue belajar dari keja-dian bencana tsunami yang terjadi pada be-berapa puluh tahun yang lalu tahuh 1900 dan mengembangkan sistem peringatan di-ni dengan teriakan semong yang berarti air laut surut dan segera lari menuju kebukit. Istilah ini selalu disosialisasikan dengan ca-ra menjadi dongeng legenda oleh tokoh masyarakat setempat sehingga istilah ini jadi melekat dan membudaya dihati setiap penduduk pulau Simelue. Istilah ini yang menyelamatkan hampir seluruh rakyat pulau Simelue padahal secara geografis le-taknya sangat dekat dengan pusat bencana. Masyarakat yang berasal dari pulau Simelue dan bekerja di sepanjang pantai barat Sumatra menjadi pahlawan karena menyelamatkan banyak orang dengan menyuruh dan memaksa orang segera ber-lari secepatnya menuju tempat yang tinggi begitu melihat air laut surut. Contoh kea­rifan lokal ini sering dimuat di media dan disiarkan lewat media elektronik, walau begitu saat Pantai Pangandaran terkena tsu­nami bulan Juli 2006 masyarakat setempat tidak segera lari meninggalkan pantai ma-lah mendekati pantai untuk mengambil ikan sehingga banyak korban tsunami saat itu. Contoh lain ditunjukkan oleh seorang KH Muzamil Hasan Basuni, pimpinan Pondok Pesantren ponpes Al Hasan yang terletak di Desa Kemiri, Panti, Jember karena kepedulian terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya, beliau bisa me­nyelamatkan 400 santrinya karena melihat keganjilan, dimana dalam kondisi hujan agak lebat tetapi air sungai tidak banjir lagi malah surut. Ternyata dibagian hulu telahterjadi longsor yang menutup atau mem-bendung sementara aliran sungai. Begitu bendung tanah jebol maka terjadi banjir bandang. Semua bisa melihat bagaimana seluruh kompleks pondok pesantren teren-dam lumpur dan banyak yang hancur berarti bangsa Indonesia bisa bertahan hidup dengan belajar langsung dari alam dan berusaha terus mengenal “niteni” tingkah laku alam di sekitarnya, sehingga mereka menciptakan banyak ke­arifan lokal yang dianut oleh komunitas masyarakat sekitarnya. Kearifan lokal ini berkembang karena selama ratusan tahun secara geologi, klimatologis, geografi dan kondisi sosial demografi Indonesia rawan bencana gempa, tsunami, gunung api, longsor, rawan banjir, angin ribut, keke-ringan, kebakaran hutan, konflik sosial, penyakit menular dan lain sebagainya. Dalam perkembangannya kearifan lokal mulai terpojokkan/terpinggirkan dikarena-kan datangnya ilmu pengetahuan dari barat. Hal ini terjadi karena kearifan lokal tidak punya bukti ilmiah yang bisa diterima secara rasional. Seperti kita ketahui bersama sekitar pertengahan bulan Juni 2006 G Merapi di Yogyakarta terjadi pe-ningkatan aktivitas sampai level siaga 1 dengan konsekuensi masyarakat yang ber-mukim di kawasan gunung merapi harus diungsikan. Pengungsian dimulai dengan bantuan aparat dan relawan. Adalah Mbah Marijan dan kerabatnya tidak menunjukkan kegelisahan dan kegugupan, masih tetap te-nang-tenang saja. Kenapa mbah kok tidak ikut mengungsi? Mbah Marijan menjawab dengan tenang “Memang ada apa?, gunung Merapi saat ini belum mau meletus, masih batuk-batuk saja dan kenalpotnya tidak me-ngarah kesini. Jadi kenapa saya harus ribut, dan saya belum dapat wangsit dari eyang merapi. Mbah Marijan pun bisa melihat si-nar putih cleret yang keluar dari puncak gunung merapi menuju ke bawah yang menandakan akan keluarnya awan panas wedus gembel yang keluar searah dengan arah cleret. Bulan Oktober-Nopember 2007 gunung Kelud aktif dinyatakan pada level awas oleh pihak Pusat Volkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi PVMBG Bandung dan tegas-tegas mengatakan bah-wa secara teoritis dengan tingkat kegem-paan, perubahan temperature, tingkat de-formasi dan berdasarkan sejarah letusan di masa lampau maka mestinya gunung kelud sudah meletus. Oleh kerenanya semua orang yang bermukim di radius 10 km harus diungsikan. Bagi masayarakat yang pernah mengalami letusan tahun 1919, 1951, 1966 dan 1990 menolak mengungsi karena belum ada tanda-tanda alam seperti 1 turunnya he wan-he wan dari puncak, 2 burung-burung atau hewan lainnya masih berbunyi, 3 pohon-pohon di sekeliling kawah belum ada yang mati layu/kering. Dan lagi sang sesepuh seperti mbah Marijan yang dikenal dengan Mbah Ronggo mengatakan bahwa disamping be­lum ada tanda-tanda tersebut, dia belum mendapatkan “wangsit”. Apa yang dilaku-kan oleh mbah Ronggo dan masyarakat gunung kelud merupakan upaya masya­rakat lokal local wisdom untuk memaha-mi perilaku alamiah gunung berapi berda­sarkan pengalaman sejarah letusan Mbah Ronggo ngotot tidak mau mengungsi. Dan kita lihat bersama drama gunung kelud tidak diakhiri dengan letusan walau secara intrumental teknologi mestinya mele­tus. Berdasarkan beberapa literatur peruba­han perilaku hewan seperti hewan-hewan langka turun gunung, hewan-hewan atau burung-burung terdiam tidak bersuara ada kesunyian atau binatang liar yang tiba-tiba menjadi mudah ditangkap atau binatang peliharaan yang bertingkah laku aneh di sangkarnya, sering muncul sebelum pe-ningkatan fase letusan gunung berapi. Ada berbagai kemungkinan penyebab kejadian ini antara laian karena adanya gelombang dan radiasi elektromagnetik yang keluarbersamaan dengan bergeraknya magma ke-atas sehingga menimbulkan regangan dan retakan. Akibat tekanan magma pada lapi-san batuan menimbulkan regangan dan berakibat munculnya gelombang elek­tromagnetik, dan retakan yang menim­bulkan radiasi magnetic. Gelombang dan radiasi elektromagnetik berfrekuensi ren-dah hingg tinggi. Rendah bila regangan dan radiasi diakibatkan oleh tekanan magma yang rendah pula, sebaliknya yang rega­ngan dan radiasi elektromagnetik tinggi di-karenakan tekanan magma tinggi. Ge­lombang dan radiasi EM berfrekuensi ter-tentu ini akan mudah dan sudah diterima oleh hewan-hewan sebagai ancaman se­hingga hewan-hewan tersebut bertingkah laku tidak seperti biasanya. Contoh kearifan dan pengetahuan local yang lain adalah di Sulawesi Selatan pada masyarakat adat Tanatowa, Kajang, Kabupaten Bulukumba. Masyarakat adat ini memiliki bentuk perilaku positif dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitar, yang bersumber dari nilai-nilai agama, adat-istiadat, dan petuah-petuah ba-ik yang diwariskan secara lisan maupun bukan lisan. Sumber nilai tersebut dikenal dengan nama Pasang ri Kajang, berupa pesan leluhur teks lisan yang berisi 120 pasal, dan 19 pasal di antaranya berisi sistem pengelolaan lingkungan. Salah satu pasal dari pesan tersebut berbunyi Anjo boronga anre nakkulle nipanraki. Punna nipanraki boronga, nupanraki kalennu Hutan tidak boleh dirusak. Jika engkau merusaknya, maka sama halnya engkau merusak dirimu sendiri. Selain itu, kita ju-ga bisa melihat pasal lain yang berbunyi Anjo natahang ri boronga karana pasang. Rettopi tanayya rettoi ada Hutan bisa lestari karena dijaga oleh adat. Bila bumi hancur, maka hancur pula adat.Dalam kaitan itu, pada masyarakat adat ini dikenal adanya pembagian ka-wasan, yaitu pertama, kawasan untuk budidaya untuk dinikmati bersama; kedua, kawasan hutan kemasyarakatan yang setiap warga diperbolehkan menebang pohon, tetapi harus terlebih dahulu menanam po­hon pengganti; dan ketiga, kawasan hutan adat borong karamaq yang sama sekali tidak boleh dirambah Basri Andang, 2006. Pelanggaran terhadap ketentuan adat ini akan dijatuhi sanksi adat, dalam bentuk pangkal cambuk atau denda uang dalam jumlah tertentu, sesuai dengan ada’ tanayya, sebuah sistem peradilan adat Ka-jang. Mereka juga memiliki lembaga adat yang disebut dengan tau limayya or-ganisasi yang beranggotakan lima orang, dipimpin oleh seseorang yang bergelar ammatowa, yang tugas utamanya mengatur penebangan pohon, pengambilan rotan, dan pemanenan lebah madu di hutan adat, serta penangkapan masyarakat adat Kajang dalam mengelola sumber daya alamnya memang diartikulasikan lewat media-media tradisional seperti mitos, ritual, dan pesan-pesan leluhur, tetapi sesungguhnya me-ngandung pengetahuan ekologis, yaitu sis­tem pengetahuan mengenai fungsi hutan sebagai penyeimbang ekosistem. Bahkan uraian di atas memperlihatkan empat ele-men kearifan lingkungan, yaitu sistem ni-lai, teknologi, dan lembaga adat. Tidak hanya pada masyarakat adat Kajang, di Sulawesi Selatan terdapat sejumlah masya­rakat lokal yang memiliki kearifan lingku­ngan, seperti lontaraq kitab Sawitto yang menyimpan pengetahuan tentang cara me-motong pohon untuk tiang rumah, dan per-lunya mengganti pohon yang ditebang de­ngan pohon baru; peran lembaga adat uwaq atau uwattaq pada masyarakat Towani Tolotang di Kabupaten Sidenreng Rappang dalam mengontrol pemanfaatan sumber da­ya alam; peran ritual dan aluk pada orang Toraja yang berkaitan dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang; upacara macceraq tasiq membersihkan laut yang pernah dipraktikkan oleh orang Luwu di masa lalu; dan lain-lain. Dalam kaitan dengan upaya konservasi atau pengembangan sistem pengelolaan lingkungan yang berkelan-jutan, bentuk-bentuk kearifan lingkungan sebagaimana dikemukakan ini menjadi penting dan dapat disinergikan dengan sis­tem pengetahuan modern. Hal ini juga telah ditegaskan dalam UU Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa aspek perilaku manusia me-rupakan bagian yang integral dalam pengelolaan lingkungan hidup. Contoh konservasi yang menarik dikemukakan adalah inisiatif masyarakat dalam peng-hijauan bakau di Tongke-tongke, pesisir Timur Kabupaten Sinjai pada paruh awal tahun 1990-an Robinson & Paeni, 2005. Penanaman bakau ini dimaksudkan untuk melindungi kampung dan tambak ma­syarakat setempat dari abrasi. Mereka membuat aturan penebangan pohon yang dilakukan dalam siklus tujuh tahunan. Usa-ha ini melahirkan dampak ekonomis, di mana penduduk dapat memperoleh tam-bahan pendapatan ekonomi keluarga de­ngan mengumpulkan akar-akar bakau yang sudah mati untuk kebutuhan kayu bakar rumah tangga. Namun, belakangan usaha ini melahirkan konflik yang melibatkan masyarakat menyangkut status kepemilikan antar Dinas Kehutanan Kabupaten Sinjai yang memiliki otoritas untuk mengatur penebangan, dan Dinas Perikanan yang memiliki wewenang menebang bakau untuk dijadikan tambak. Kembali pada system hukum yang ada, bahwa sumberdaya alam yang me-nguasai hak hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, maka partisipasi/ keberadaan masyarakat local baik secara individu mau-pun komunal diabaikan dan kalah oleh ke-pentingan pemodal perusahaan dan agen kapitalisme global. Pemerintah lupa akan pentingnya tradisi atau kebudayaan masya­rakat dalam mengelola lingkungan, seringkali budaya lokal dianggap sesuatu yang sudah ketinggalan di abad sekarang ini, sehingga perencanaan pembangunan se-ringkali tidak melibatkan masyarakat, padahal mereka menggantungkan hidupnya juga dari sumber daya alam itu, sehingga banyak terjadi konflik tersebut bisa kita lihat dari sejarah pengeksploitasian sumberdaya alam dan hutan terjadi antara masyarakat yang pro dan kontra, antara masyarakat yang dirugikan dengan pihak perusahaan yang dalam hal ini sudah mendapatkan izin eks-ploitasi oleh Negara, dan juga antara ma­syarakat dengan Negara sendiri seperti yang terjadi dalam eksploitasi mineral di Papua dimana masyarakat local berhadapan dengan Freeport, masyarakat Sumatera Utara dengan Indorayon, Masyarakat Sum-bawa dengan Newmont Nusa Tenggara, dan lain sebagainya. Apabila kita melihat kasus tersebut, bisa diketahui bahwa sumber konflik tersebut antara lain per-tama, karena menguatnya intervensi modal dalam system ekonomi nasional, sebab kemajuan Negara dilihat dari pendapatan perkapitanya, sehingga berujung pada pemihakan yang berlebihan pada pemodal. Kedua, dominannya Negara atau Peme-rintah dalam memposisikan diri sebagai yang paling berhak atas penentuan arah pembangunan, sehingga sentralisasi kepu-tusan dan kebijakan pemerintah menjadi hal yang wajar saja, tidak memperdulikan keberadaan masyarakat lokal yang juga mempunyai andil dalam pemanfaatan sum­berdaya tersebut yang melahirkan me-kanisme penaklukan terhadap mereka. Pengetahuan mereka dianggap tidak ilmiah dan tidak mempunyai metode dan tidak bisa dipertanggung jawabkan, sehingga mereka menjadi termajinalkan. Ketiga, melemahnya jaminan dan perlindungan formal Negara terhadap hak-hak masya­rakat local dalam perundang-undangan masalah, seperti Freeport, telah lama mendapat perhatian para ahli yang tergolong strukturalis. Salah satu pendekatan strukturalis adalah pendekatan aktor yang diperkenalkan Bryant and Beiley melalui buku yang berjudul The Third World Political Ecology 2001. Pendekatan ini berpijak pada konsep politicized environment yang memiliki asumsi bahwa persoalan lingkungan tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi. Jadi masalah ling­kungan bukanlah masalah teknis penge-lolaan Bryant dan Beily, ada beberapa asumsi yang mendasari pende­katan aktor ini. Pertama, bahwa biaya dan manfaat yang terkait dengan perubahan lingkungan dinikmati oleh para aktor secara tidak merata. Kedua, bahwa dis-tribusi biaya dan manfaat yang tidak me­rata tersebut mendorong terciptanya ketim-pangan sosial ekonomi. Ketiga, bahwa dampak sosial ekonomi yang berbeda dari perubahan lingkungan tersebut juga me­miliki implikasi politik, dalam arti bahwa terjadi perubahan kekuasaan dalam hu-bungan satu aktor dengan satu aktor yang penting ada­lah negara state. Negara memiliki dua fungsi sekaligus, baik sebagai aktor peng-guna maupun pelindung sumber daya alam, yang karena itu negara juga sering me-ngalami konflik kepentingan. Namun, se­cara teoretis, banyak kritik terhadap ek-sistensi negara ini, seperti yang disam-paikan Bryant and Beiley 2001. Salah sa-tunya karena negara mempersulit upaya memecahkan masalah lingkungan, akibat negara-negara di dunia ini berusaha menge-jar pembangunan ekonomi, termasuk beru­saha menarik perusahaan multinasional un-tuk melakukan investasi di wilayahnya yang sering kali mengorbankan ling­ kedua adalah pengusaha, baik perusahaan multinasional maupun na-sional. Aktor ini yang sering disebut-sebut sebagai kekuatan kapitalisme. Aktor lain-nya aktor rakyat jelata yang merupakan pihak yang terlemah dalam politicized environment ini. Aktor rakyat jelata ini hampir selalu mengalami proses mar-ginalisasi ataupun rentan terhadap berbagai bentuk degradasi lingkungan. Degradasi lingkungan dan marginalisasi merupakan setali tiga uang. Sebab, menurut Marcuse melalui buku One Dimensional Man, do-minasi terhadap alam terkait dengan domi-nasi sesama manusia. Ini terjadi karena manusia dan alam dilihat sebagai komo-ditas dan nilai tukar semata sehingga dehu-manisasi menjadi tak terhindarkan dan be-gitu pula eksploitasi terhadap ini terjadi juga karena aktor-aktor lain, seperti negara, pengusaha, atau­pun perusahaan multinasional, memiliki kekuatan politik yang lebih besar dalam mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam dibanding rakyat. Bahkan, dalam kasus Freeport ini perusahaan multina­sional memiliki kekuatan yang lebih besar daripada negara. Inilah yang kemudian membuat geram lembaga swadaya masya-rakat sebagai aktor penting lainnya sehing­ga menuntut ditutupnya sementara pengelolaan lingkungan ada baiknya dilakukan dengan lebih meman-dang situasi dan kondisi lokal agar pende-katan pengelolaannya dapat disesuaikan dengan kondisi lokal daerah yang akan dikelola. Pandangan ini tampaknya relevan untuk dilaksanakan di Indonesia dengan cara memperhatikan kondisi masyarakat dan kebudayaan serta unsur-unsur fisik masing-masing wilayah yang mungkin memiliki perbedaan disamping kesamaan. Dengan demikian, strategi pengelolaan pada masing-masing wilayah akan berva-riasi sesuai dengan situasi setempat. Yangperlu diperhatikan adalah nilai-nilai dan norma-norma yang dianut oleh suatu masyarakat yang merupakan kearifan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan dasarnya, budaya asli Indonesia terbukti memiliki falsafah yang pro lingkungan hidup, seperti di Jawa terkenal dengan falsafah Hamemayu Hayunig Bawana, Tri Hita Karana di Bali dan Alam Terkembang Jadi Guru di Tanah Minang. Kemudian ada juga berbagai kearifan tradisi, seperti Sasi di Maluku, Awig-Awig di Nusa Tenggara, Bersih Desa di Jawa, Nyabuk Gunung di Sunda yang menambah kekayaan budaya Indonesia yang pro lingkungan hidup. Sementara itu, Agama-agama yang dipeluk oleh masya­rakat Indonesia, mulai dari Islam, Hindu, Kristen, Budha dan Konghuchu, juga ter­bukti mengajarkan pemeluknya untuk senantiasa menjaga dan memelihara alam sekitarnya. Bahkan menurutnya, sekarang ini beberapa organisasi keagamaan di Indonesia telah membentuk institusi yang bergerak dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian apa yang dimak-sud dengan pengetahuan ilmiah yang oleh lowe dinamakan sebagai reason bukan satu-satunya yang bisa menjelaskan suatu permasalahan secara ilmiah, tetapi ada juga yang unreason dalam hal ini pengetahuan local yang tidak bisa diabaikan degradasi lingkungan adalah adanya pengeksploitasian sumber­daya alam oleh manusia, baik oleh peme-rintah, perusahaan maupun masyarakat yang mempunyai kepentingan dan akses tersendiri. Dengan demikian terjadi kon-testasi dan konflik diantara mereka. Akibat dari kontestasi tersebut, menimbulkan ketidakmerataan pendapatan ekonomi an-tara masyarakat local dengan perusahaandan pemerintah. Ironisnya hasil dari sum-berdaya tersebut sebagian besar masuk ke Negara Negara maju. Negara maju tinggal membayar, dan Negara kita menghabisi sumberdayanya. Hal tersebut semakin meluas dari sabang sampai merauke, sebab keberhasilan pembangunan dinilai dari pendapatan perkapita. Dampak dari eks-ploitasi tersebut mengakibatkan bencana alam seperti banjir, rusaknya hayati ke-lautan, dan lain-lain. Oleh sebab itu, dalam pengeksploitasian sumberdaya alam, tidak bisa mengabaikan kearifan local, sebab ke-arifan local berfungsi sebagai penyeimbang dan penyelaras lingkungan. Demikian juga halnya dengan pengetahuan local yang selama ini dianggap tidak ilmiah, tidak mempunyai metode, tetapi dalam penera-pannya bisa terbukti keberadaannya dalam meminimalisir bencana sebagai akibat dari degradasi dan fenomena PustakaAgrawal, A, “Indegeneous and Scientific Knowledge Some Critical Knowledge and Development Monitor”, 3 3 3-6. 1995. Amalamien, “Penelitian Ilmiah Berbasis Pengetahuan Lokal”, 2008. Berbagai SumberBryant, Raymond L, Sinead Bailey, “Third World Political Ecology”, Routledge, New York, Salim, Pembangunan Berwawasan Lingkungan”, LP3ES, Jakarta, J. Daeng, “Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan Tinjauan Antropologis” ,Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Poerwanto, “Kebudayaan dan ling­kungan dalam Perspektif Antro-pologi”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Marcuse, “One Dimensional Man Studies in Ideology of Advanced Industrial Society”, Routledge, New York, Iskandar, “Mitigasi Bencana Lewat Kearifan Lokal”, Kompas, 6 Oktober R, Brown, “Tantangan Masalah Lingkungan Hidup Bagaimana Membangun Masyarakat Manusia Berdasarkan Kesinambungan Ling­kungan Hidup yang Sehat”, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1992. Lowe, Celia, “Wild Profusion Biodiversity Conservation in an Indonesian Archipelago”, Princeton University Press. Sub-topik The Reason for Reason hal 19-23, A, “Local Knowledge in the Environment-Development Discourse From Dicotomies to Situated Knowledge”, Critique of Anthropology 19 3 267-288, M, Chapter 16. Political Ecology, in Eric Sheppard and Trevor J. Barnes [eds.], A Companion to Economic Geography. Oxford Blackwell Publisher Ltd. sub-topik tentang knowledge, power, practice halaman 263-265, Bagikan Related Posts Page load link Go to Top
Tentangwacana sains, Arkoun mengungkapkan bahwa tradisi Islam klasik telah memperlihatkan adanya hubungan yang harmonis antara agama, filsafat dan sains, sebagaimana yang terlihat dalam karya-karya Ibnu Sina (Arkoun, 1996: 133). Penelitian ilmiah, lanjut Arkoun, tampaknya tidak menghadapi halangan-halangan religius dalam ranah Islam.
– Geografis merupakan istilah yang sudah tidak asing didengar. Istilah geografi berasal dari bahasa Yunani “geo” yang berarti bumi dan “graphy” yang berarti menulis. Sehingga geografi mengajarkan manusia mempelajari bumi tempat mereka tinggal dan kondisi di dalamnya. Bumi memiliki karakteristik geografis yang berbeda di setiap daerahnya. Ada kutub utara dan kutub selatan yang diselimuti es sepanjang tahun, ada daerah gurun, ada daerah pegunungan, ada lautan, ada hutan hujan dan lanskap geografis geografis suatu wilayah dapat mempengaruhi kehidupan sosial budaya. Hal ini mampu membentuk kehidupan sosial masyarakat. Dilansir dari National Geographic, sistem fisik dan karakteristik lingkungan tidak dengan sendirinya menentukan pola aktivitas manusia, namun memengaruhi dan membatasi pilihan yang dibuat orang. Berikut pengaruh karakteristik geografis, yaitu Perbedaan siang dan malam Posisi geografis di bumi sangat memengaruhi kehidupan sosial maupun budaya. Misalkan Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa dan Islandia yang terletak dekat dengan kutub utara. Baca juga Karakteristik Geografis Malaysia Letak geografisnya membuat Indonesia memiliki siang selama 12 jam, tetapi Islandia hanya memiliki siang selama 3-5 jam. Hal tersebut membuat masyarakat Islandia harus beradaptasi dengan kegelapan. Mereka bangun dibantu dengan alarm, karena matahari tidak muncul saat pagi. Mereka menyalakan lampu dalam waktu yang lama, sehingga pemerintahnya juga menyediakan listrik dengan murah. Orang Islandia terbiasa melakukan segala macam aktivitas dalam kondisi gelap seperti malam. Sedangkan di Indonesia, sinar matahari bisa membantu manusia untuk bangun. Pergi sekolah, bekerja, berolahraga, dan bertemu teman dalam kondisi langit yang terang. Lalu saat malam gelap datang, seseorang bisa beristirahat. Terdapat perbedaan aktivitas siang dan malam. Namun, di Islandia matahari tidak bisa dijadikan patokan aktivitas. Perbedaan iklim Di bumi, menurut kondisi geografisnya masing-masing daerah dibagi ke dalam empat iklim. Keempat iklim tersebut adalah iklim tropis, iklim subtropis, iklim sedang, dan iklim dingin. Dilansir dari Sociology Discussion, iklim memberikan pengaruh yang tidak dapat disangkal misalnya jenis pakaian yang digunakan. Baca juga Karakteristik Geografis ThailandJenis pakaian digunakan agar manusia bisa bertahan dalam kondisi iklim. Selain jenis pakaian, iklim juga memengaruhi sistem transportasi, masa panen dan bercocok tanam, infastruktur, juga keperluan rumah tangga untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan. Iklim juga memangaruhi kebudayaan manusia, misalnya pemakaman. Misalnya di daerah yang dingin dan dilapisi es, penguburan dalam tanah sulit dilakukan. Tanah yang jarang dan kondisi yang dingin membuat jenazat sulit terdekomposisi. Di Tibet yang dingin bahkan ada suatu kebudayaan yang disebut pemakaman langit. Yaitu pemakaman dengan cara memberikan jenazah pada burung nasar untuk dimakan agar orang tersebut bisa pergi ke surga dengan tenang. Topografi Dilansir dari Sciencing, topografi merupakan strudi tentang relief yang menggambarkan ketinggian dan elemen geografis seperti sungai, danau, gunung, juga kota. Kondisi topografi kota cenderung mudah dijamah sehingg orang dari luar bisa masuk bersama dengan teknologi juga kebudayaannya. Hal tersebut membuat kota cenderung lebih maju dan dihuni oleh heterogen dengan kebudayaan yang berbeda. Adapun kondisi topografi yang sulit dijamah, misalnya daerah pegunungan tinggi atau pedalaman hutan tanpa jalan utama. Daerah tersebut cenderung terisolasi dari lingkungannya, membuat orang dari luar susah untuk menjangkaunya. Daerah tersebut cenderung masih belum maju karena sulit terjangkau teknologi. Masyarakatnya juga cenderung homogen dengan kebudayaan yang masi kental. Baca juga Karakteristik Geografis Singapura Ketersediaan air Seseorang yang tinggal di daerah cukup air bersih, akan menganggap air seperti hal biasa. Mereka menggunakan air untuk kebutuhan hidup dan juga kebersihan. Toilet menjadi sumber air yang bersih, beberapa daerah bahkan air kerannya bisa diminum. Mandi juga menjadi suatu kebiasaan wajib bagi mereka. Namun di daerah yang kekurangan sumber air bersih, air dianggap dengan barang yang sangat berharga. Mereka harus jalan berkilo-kilometer untuk mendapatkan air yang belum tentu bersih. Sehingga penggunaan air juga dilakukan seminimal mungkin. Mereka jarang mandi, air digunakan untuk kebutuhan yang lebih esensial seperti minum dan memasak. Hal ini membuktikan bahwa kondisi geografis bukan hanya mempengaruhi pola hidup dan budaya, melainkan juga persepsi seseorang terhadap sesuatu. Baca juga Jenis-Jenis Pekerjaan Berdasarkan Letak Geografis Ketersediaan sumber makanan Kondisi geografis memengaruhi ketersediaan sumber makanan seperti hewan dan tumbuhan. Masyarakat yang tinggal di pegunungan, memiliki berbagai tumbuhan dan hewan darat untuk dikonsumsi. Masyarakat yang tinggal di pantai, cenderung mengonsimsi lebih banyak ikan dan hasil laut. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Menguasaitentang keragaman budaya dan kearifan lokal yang ada di Indonesia serta upaya melestarikannya. Tujuan Pembelajaran. Dengan mengamati gambar peta Indonesia, siswa dapat mengidentifikasi hubungan antara banyaknya suku bangsa dengan kondisi wilayah di Indonesia dengan benar. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Indonesia merupakan negara yang majemuk atau multikultural, yang mana kemajemukan itu ada yang horizontal dan vertikal Kemajemukan horizontal berkaitan erat dengan kondisi kesatuan sosial yang mengacu pada perbedaan agama, ras, suku, adat-istiadat, maupun budaya. Sedangkan kemajemukan vertikal mengacu pada kondisi struktur dari masyarakat yang mengacu pada kondisi ekonomi, politis, tingkat pendidikan, dan lain sebagainya. Kemajemukan Indonesia yang berasal dari kesatuan sosial maupun struktur masyarakat tidak bisa dihindari dan dihegemoni oleh siapapun. Terlepas dari hal itu, kemajemukan yang ada bisa menimbulkan suatu masalah bagi Indonesia. Masalah ini kebanyakan mengenai konflik etnis dan agama. Tentu saja konflik bukanlah hal yang baru, sebab setiap manusia dari berbagai negara, termasuk Indonesia hidup saling berdampingan dan bergantung dengan manusia konflik bisa terjadi akibat marginalisasi ekonomi ataupun kesalahpahaman mengartikan budaya dari suatu etnis kelompok masyarakat. Seperti yang pernah terjadi di Bengkayang, konflik antaretnis suku Dayak dengan suku Madura terjadi akibat dominasi suku Madura dalam hal ekonomi dan kesalahpahaman budaya Pamungkas, 2018. Alhasil mengakibatkan suku Madura diusir dan ditolak masuk ke Kalimantan selamanya. Selanjutnya, konflik agama bisa pula menimbulkan konflik antaretnis yang semuanya berawal dari hanya satu etnis saja yang berkonflik. Seperti tahun 1998-2000 terjadi konflik besar di Maluku, yakni kelompok beragama Islam dan kelompok beragama Kristen yang pada akhirnya meluas menjadi konflik antaretnis, antara kelompok masyarakat Ambon dengan kelompok masyarakat Bugis, Buton, dan Makassar. Alhasil menimbulkan kecurigaan terhadap etnis maupun agama tertentu yang ada di Maluku dan pada akhirnya membentuk polarisasi di masyarakat Harahap, 2018 42-43, Safi, 2017. Polarisasi inilah yang menjadikan masyarakat menjadi sulit untuk hidup harmonis di ruang yang sama. Namun, pada akhirnya konflik di Maluku berhasil diselesaikan dengan cara pendekatan budaya, yakni menghidupkan kembali kearifan lokal Pela Gandong di masyarakat Maluku. Kearifan lokal menurut Wijaya, dkk 2021 61 adalah perwujudan nilai-nilai karakteristik dari suatu masyarakat tertentu yang dibentuk melalui suatu kebiasaan dan pengetahuan yang secara turun temurun diwariskan. Senada dengan yang diutarakan oleh Sinapoy 2018 519, kearifan lokal adalah suatu cara hidup seseorang atau komunitas masyarakat dalam memecahkan berbagai permasalahan kehidupan, baik dari lingkup ekonomi, lingkungan alam, sosial-budaya, politik, agama, pendidikan, dan lain sebagainya. Dari definisi tersebut bisa ditarik benah merah bahwa, kearifan lokal adalah pandangan hidup dari suatu kelompok masyarakat tertentu yang tercipta dari hasil proses adaptasi masyarakat dalam menyelesaikan segala permasalahan hidup yang diwujudkan ke dalam seperangkat hukum/aturan, pengetahuan, keterampilan, dan nilai serta etika yang mengatur tatanan sosial kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain, kearifan lokal adalah wujud kebudayaan yang diperoleh dari warisan sosial yang diperoleh individu dari dengan kearifan lokal, konflik yang pernah terjadi di Maluku bisa terselesaikan dengan pendekatan budaya, yakni kearifan lokal Pela Gandong. Kearifan lokal Pela Gandong adalah suatu ikatan persaudaraan antara dua negeri, dua desa, ataupun dua pulau dari lintas agama, budaya yang saling berkaitan dan berhubungan satu dengan lainnya serta saling melindungi. Dengan kata lain, kearifan lokal Pela Gandong adalah kebudayaan yang bertujuan untuk saling melindungi antar agama serta budaya yang berbeda. Dan menurut masyarakat Maluku apabila kebudayaan Pela itu dilanggar atau tidak dilaksanakan maka suatu desa tersebut akan terkena suatu musibah. Kearifan lokal Pela Gandong berhasil menghilangkan polarisasi pada masyarakat Maluku, sehingga hubungan antartenis dan agama di Maluku kini membaik dan kehidupan berjalan dengan dalam hidup yang berbeda etnis kerap kali sulit untuk dilakukan, apalagi bila salah satu etnis tidak mengerti dan memahami tentang kebudayaan setempat. Namun berbeda dengan masyarakat di Pulau Enggano yang menjadikan keragaman sebagai suatu keunggulan meskipun pemerintah tidak memperhatikan masyarakat di pulau Enggano dan akses serta fasilias yang masih terbatas. Masyarakat di Pulau Enggano membuktikan bahwa perbedaan etnis dan agama bukanlah menjadi persoalan untuk dapat menjalani hidup bersama dengan damai di satu ruang yang sama. Mereka sangat terbuka dengan masyarakat pendatang, bahkan menjadikan masyarakat pendatang dari etnis Jawa, Melayu, Bugis, Batak, Minang, dan lain sebagainya sebagai satu suku tersendiri yang disebut dengan suku Kamay Sari, 2017 145. Masyarakat asli Enggano memeluk agama Kristen, namun ketika pendatang masuk ke Pulau Enggano agama mayoritas berubah menjadi agama Islam. Meskipun demikian, harmonisasi antaretnis dan agama di Pulau Enggano masih tetap terjaga lantaran kedua masyarakat tersebut memegang teguh dan mematuhi hukum adat yang ada. Hukum adat yang diwarisi oleh para leluhur masyarakat Enggano lebih mengedepankan sistem tolong menolong, norma-norma hukum adat, bentuk perkawinan adat, maupun sistem kekerabatan adat Muslih dkk., 2021 22. Sistem tolong menolong masyarakat Enggano dengan masyarakat pendatang diperlihatkan dari bagaimana masyarakat Enggano tidak membedakan etnis dan agama dalam membantu antar umat. Seperti halnya menyelesaikan permasalahan dengan melibatkan ketua-ketua adat, tokoh agama, maupun kepala suku dari suku pendatang. Selain itu, aktivitas saling menghadiri undangan apabila salah satu pihak merayakan hari besar. Dan membantu dalam pembuatan/perbaikan masjid ataupun gereja serta gotong royong dalam menggarap sawah pada saat musim panen. Semua itu tertuang dalam norma-norma hukum adat tertulis yang wajib dan dipatuhi oleh siapapun, apabila melanggar atau tidak melaksanakan hukum adat yang berlaku maka seseorang itu akan mendapatkan sanksi hukum adat. Dari hukum adat tersebut, masyarakat Enggano asli dan pendatang diikat untuk bisa hidup saling berdampingan dan menghindari segala konflik yang ada di masyarakat. Dengan demikian, kehidupan antaretnis dan agama di Pulau Enggano berjalan dengan harmonis tanpa adanya konflik yang bisa mencederai kondisi sosial studi kasus tentang masyarakat Enggano bisa ditarik kesimpulan bahwa, sesungguhnya kemajemukan suatu bangsa bukanlah menjadi persoalan untuk membangun relasi antaretnis terutama agama. Relasi antaretnis bisa berlangsung dengan harmonis apabila salah satu etnis bisa menghargai dan memahami budaya yang ada serta mengesampingkan ego pribadi atau kelompok. 1 2 Lihat Sosbud Selengkapnya 1scVp. 36 195 375 336 159 419 356 96 41

kemukakan hubungan antara kearifan lokal dan kondisi geografis